TUGAS
MAKALAH
PEMBANGUNAN PERTANIAN
(KEBIJAKAN
EKSPOR IMPOR GULA DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN )
OLEH:
NAMA : FATMAWATI
STAMBUK : D1A110 059
PROG. STUDI : AGRIBISNIS GANJIL
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012
KATAPENGANTAR
Tiada
kata terindah yang dapat penulis sampaikan, selain ucapan alhamdulillah
hirrobil alamien dengan rasa penuh syukur ke hadirat Allah SWT, karena dengan
Rahmat dan Hidayahnya serta pertolongan-Nya penulisa dapat menyelesaikan
makalah ini.
Adapun
tujuan dari pembuatan makalah ini adalah semata-mata unuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah yang berjudul kebijakan pembangunan pertanian.
Harapan
kami selaku penulis, mudah-mudahan makalah ini nantinya dapat berguna dan
bermanfaat khususnya bagi penulis, Falkutas Pertanian, dan kalangan pembaca
pada umumnya.
Penuli
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan
kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu segala saran dan
kritik yang sifarnya membangun sangat penulis harapakan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir
kata penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi kita semua. Amien
Kendari
4 Oktober 2012
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1Latar
Belakang
Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam
perekonomian Indonesia. Dengan luas areal sekitar 360 350 ribu ha pada periode
2000-2005, industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan
bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai
sekitar 1.3 juta orang. Gula juga merupakan salah satu kebutuhan pokok
masyarakat dan sumber kalori yang relatif murah. Karena merupakan kebutuhan
pokok, maka dinamika harga gula akan mempunyai pengaruh langsung terhadap laju
inflasi.
Dengan posisinya yang penting, maka dan sejalan dengan
revitalisasi sektor pertanian, maka industri gula berbasis tebu juga perlu
melakukan berbagai upaya sehingga sejalan dengan revitalisasi sektor pertanian.
Hal ini berarti industri gula berbasis tebu perlu melakukan berbagai perubahan
dan penyesuaian guna meningkatkan produktivitas, dan efisiensi, sehingga
menjadi industri yang kompetitif, mempunyai nilai tambah yang tinggi, dan
memberi tingkat kesejahteraan yang memadai pada para pelakunya, khususnya
petani.
Dengan tingkat efisiensi yang masih belum memadai serta pasar
yang terdistorsi, revitalisasi pada industri berbasis tebu merupakan keharusan.
Dalam hal ini, peningkatan investasi merupakan salah satu syarat keharusan
untuk dapat mewujudkan revitalisasi tersebut. Untuk itu, upaya-upaya untuk
menggalang peningkatan investasi merupakan suatu upaya yang strategis.
Sejalan dengan hal tersebut, tulisan ini dimaksudkan untuk
memberi gambaran prospek/peluang investasi pada industri berbasis gula.
Informasi ini dapat menjadi acuan pemerintah dan pelaku bisnis dalam merumuskan
kebijakan dan program investasi pada industri gula berbasis tebu. Sebelum
membahas propsek prospek tersebut, gambaran umum mengenai kondisi industri
terlebih dahulu akan diuraikan. Selanjutnya, bahasan difokuskan pada prospek
investasi, kebijakan dan program pemerintah. Kebutuhan investasi dibahas pada
bagian selanjutnya. Tulisan diakhiri dengan bahasan mengenai dukungan kebijakan
untuk mempercepat/meningkatkan investasi pada industri berbasis gula.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian pada latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah:
A.
Bagai Mana Sejarah penyebaran tebuh dan Lahirnya Suatu Kebijakan?
B.
Apa
Saja Kebijakan Ekonomi Gula di Indonesia?
C.
Apa Saja Implikasi kebijakan?
D.
Apa Saja Kebijakan Harga, Perdagangan,
dan Investasi?
E.
Bagai mana Percepatan
Pemanfaatan Lahan Potensial Untuk Pembangunan Industri Gula?
F.
Bagai Mana Dampak positif
dan negative dari suatu kebijakan?
G.
Apa Lembaga Yang Mengawasi
Atau Yang Bertanggung Jawab Atas Pelaksanaan Kebijakan Pergulaan Di Indonesia?
H.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
A. Untuk Mengetahui Kebijakan Ekonomi Gula.
B. Untuk Mengetahui Sejarah
penyebaran tebuh dan Lahirnya Suatu Kebijakan.
C. Untuk
Mengetahui Implikasi kebijakan.
D. Untuk
Mengetahui Kebijakan Harga, Perdagangan, dan Investasi.
E. Untuk Mengetahui Percepatan Pemanfaatan Lahan
Potensial Untuk Pembangunan Industri Gula.
F. Untuk Mengetahui Dampak positif dan negative dari suatu kebijakan.
G. Untuk
Mengetahui Lembaga Yang Mengawasi Atau Yang Bertanggung Jawab Atas Pelaksanaan
Kebijakan Pergulaan Di Indonesia.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKAH
2.1
Usahatani Tebu
Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan
tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil
yang diharapkan. Variabel yang sangat penting dalam proses budi daya tanaman
tebu adalah keadaan lahan, agroklimat, waktu tanam, teknik budi daya, proporsi
tebu pertama dan tebu keras serta panen (tebang dan angkut).
Tanaman tebu merupakan tanaman yang sangat peka
terhadap perubahan unsur-unsur iklim. Oleh karena itu, waktu tanam dan panen
harus diperhatikan agar tebu dapat membentuk gula secara optimal. Tanaman tebu
banyak membutuhkan air selama masa pertumbuhan vegetatifnya dan membutuhkan
sedikit air pada masa pertumbuhan generatifnya (Mubyarto dan Damayanti, 1991).
Terdapat dua cara penanaman tebu, yaitu di lahan
sawah dengan sistem reynoso (cara pengolahan tanah sawah untuk tanaman tebu) dan
di lahan tegalan dengan sistem tebu lahan kering.
Tebu lahan sawah memiliki beberapa
kategori, tergantung dari pola penanaman. Tebu tanam atau tebu Tebu Rakyat
Sawah I (TRIS I) adalah pola penanaman tebu dengan menggunakan bibit. Sedangkan
tebu keras atau TRIS II dan selanjutnya adalah penanaman tebu dari kepras atau
tunas yang berasal dari sisa panen. Perbedaan kategori tersebut berpengaruh
terhadap produksi dan produktivitas tebu.
Teknologi budi daya yang tepat serta
penggunaan varietas unggul yang paling sesuai dengan kondisi lahannya dapat
menghasilkan tebu dengan bobot dan rendemen yang tinggi. Selain itu perlu
diperhatikan juga kegiatan pasca panen dengan cara menghindari kerusakan tebu
pada saat penebangan maupun pengangkutan, serta menjaga kebersihan tebu saat
akan dikirim ke pabrik gula sehingga tebu yang akan digiling di pabrik gula
mempunyai kriteria bersih, segar dan manis.
Sistem usahatani tebu dilaksanakan
dengan sistem Hak Guna Usaha (HGU) dan Sistem Tebu Rakyat (TR). Dalam sistem
HGU, pelaksanaan penanaman tebu, tebang angkut kemudian proses pengolahan
menjadi gula merupakan tanggung jawab pabrik gula. Pada sistem TR yang
dilaksanakan dengan pola kemitraan, petani bertanggung jawab terhadap kebun tebu
sampai kegiatan tebang angkut dan proses pengolahannya diserahkan ke pabrik
gula.
Sistem tebu rakyat dengan pola kemitraan
dilaksanakan berdasarkan Inpres Nomor 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat
Indonesia. Berdasarkan Inpres 26 tersebut,
petani yang berada di wilayah-wilayah tertentu diwajibkan untuk memenuhi
kebutuhan pasokan bahan baku gula. Namun pada tahun 1997 pola ini mengalami
perubahan berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 1997 tentang Program Pengembangan
Tebu Rakyat antara pabrik gula dan petani dengan fasilitas kredit. Perubahan
yang mendasar dari Inpres tersebut adalah adanya kebebasan petani tebu untuk
memilih komoditas tanaman yang dikehendakinya. Hal ini menyebabkan berkurangnya
areal tebu sawah akibat adanya persaingan dengan tanaman alternatif yang
dianggap lebih menguntungkan.
Adanya persaingan dengan tanaman
alternatif, terutama padi menyebabkan pergeseran lahan dari lahan sawah
beririgasi menjadi lahan tegalan yang kurang ideal bagi tanaman tebu. Hal ini
menyebabkan kurangnya pasokan bahan baku ke pabrik gula dan pabrik beroperasi
di bawah kapasitas gilingnya sehingga mengurangi efisiensi dan mengganggu
kinerja pabrik.
Untuk mengatasi hal tersebut salah satu
upaya yang dilakukan adalah dengan meningkatkan produktivitas tebu. Agar
tanaman tebu dapat bersaing dengan tanaman alternatif, maka produktivitas
tanaman tebu harus mencapai 80 ton per hektar dengan tingkat rendemen 8 ton per
hektar (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004).
2.2 Pengolahan
Proses pengolahan tebu adalah memeras
nira dari batang tebu dan memprosesnya menjadi gula kristal dengan tingkat
kehilangan gula (pol) sekecil mungkin. Tingkat kehilangan tersebut dapat
terjadi pada ampas, blotong dan tetes.
Rata-rata mutu tebu yang berada di
pabrik gula di Jawa memiliki mutu yang rendah dengan nilai pol berkisar antara
8.3 – 11.2, nilai nira perasan pertama 9.9 - 12.4 dan kadar
kotoran tebu antara 6 - 20 persen. Rendahnya mutu tebu diperparah dengan
kondisi beberapa pabrik gula yang sudah tua. Sekitar 68 persen dari jumlah
pabrik gula yang ada telah berumur lebih dari 75 tahun dan kurang mendapat
perawatan yang memadai. Hal ini menyebabkan efisiensi yang rendah dan
meningkatkan biaya produksi per unit (Direktorat Jenderal Bina Produksi
Perkebunan, 2004).
Meskipun demikian, pabrik gula di Jawa
masih berpotensi untuk ditingkatkan produktivitasnya melalui optimalisasi
kapasitas giling serta penggalangan dengan petani. Pada tahun 2002 hasil giling
pabrik gula yang berada di Jawa mengalami kenaikan produksi sebesar 14 persen (Sawit
et a.l, 2004). Adanya program akselerasi Industri Gula Nasional telah
memberikan insentif bagi petani tebu untuk kembali menanam tebu sehingga
terjadi perluasan areal tanaman tebu.
2.3 Kebijakan Ekonomi Gula
Perubahan yang paling
mendasar yang melandasi ekonomi gula adalah dibebaskannya tataniaga gula dari
monopoli Bulog ke mekanisme pasar pada tahun 1998. Selain sistem tataniaga,
sistem produksi juga mengalami perubahan dengan dicabutnya Inpres No 9 Tahun 1975
tentang Tebu Rakyat Intensifikasi dan memberikan kebebasan kepada petani untuk
memilih tanaman yang diusahakannya sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 1992 tentang
Sistem Budidaya Tanaman (Papahan, 2004).
Perubahan tersebut
memberikan keuntungan bagi industri gula nasional, terutama petani tebu. Namun
dengan adanya Letter of Intent yang menyatakan pembebasan bea masuk 0
persen bagi komoditi pertanian menyebabkan membanjirnya impor gula. Keadaan
tersebut diperparah dengan masuknya impor gula ilegal dan adanya impor gula
yang langsung dijual kepada konsumen sehingga harga gula domestik mengalami
penurunan yang drastis dari Rp 3 000 per kg menjadi Rp 2 000 per kg. Penurunan
harga yang drastis ini telah menghilangkan insentif bagi petani tebu, sehingga
petani tebu enggan untuk menanam tebu.
Kemudian muncul SK
Menperindag Nomor 230/MPP/Kep/1999, yang menetapkan tarif impor sebesar 20
persen untuk raw sugar dan 25 persen untuk white sugar untuk
mengefektifkan penerapan tarif, bea masuk impor gula diubah menjadi tarif
spesifik sebesar Rp 550,- per kg untuk raw sugar dan Rp 700 untuk white
sugar (Sawit, et al, 2004).
Tahun 2002 kebijakan
tersebut dikombinasikan dengan kuota impor berdasarkan SK Menperindag Nomor
643/MPP/Kep/2002 tentang tataniaga Impor Gula. Kebijakan tersebut menyatakan
bahwa impor gula putih hanya dapat dilakukan oleh Importir Terdaftar Gula (IT).
IT ini merupakan perusahaan yang memperoleh bahan baku minimal 75 persen
berasal dari petani tebu dan impor gula hanya dilakukan pada saat harga di
tingkat petani mencapai Rp 3 100 per kg. Kebijakan ini telah memberikan
insentif bagi petani tebu untuk kembali menanam tebu.
Seiring dengan perkembangan pergulaan
nasional, tahun 2004 Presiden menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 57 Tahun 2004 tentang penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan dan
Keputusan Republik Indonesia Nomor 58 tentang penanganan gula yang diimpor
secara tidak sah. Kemudian muncul Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan
impor gula. Keputusan ini bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan
peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia serta menciptakan
swasembada gula dan meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan
industri gula.
2.4 Penelitian yang Terkait
Studi yang dilakukan oleh Nelson dan Panggabean (1991), menyatakan
bahwa kebijakan industri gula di Indonesia merupakan suatu jaringan kebijakan
yang saling bertentangan dan kompleks baik antara kegiatan di bidang produksi, price
support, pupuk maupun subsidi kredit. Melalui pendekatan Policy Analysis
Matrix (PAM) hasil analisisnya menunjukkan bahwa pada musim tanam
1986/1987, baik pada lahan kering maupun irigasi pengusahaan komoditas tebu
tidak memberikan keuntungan sosial karena tingginya opportunity cost dari
penggunaan lahan. Malah ditemukan bahwa keuntungan sosial ada lahan beririgasi
negatif karena biaya opportunity cost dari tanah.
Khusus untuk lahan kering keuntungan
sosialnya negatif tapi keuntungan privatnya positif. Sedangkan di tingkat
pengolahan total biaya privat menggiling tebu (termasuk biaya untuk tebu)
adalah sebesar Rp 383 miliar, sedangkan total pendapatan hanya Rp 372 miliar,
jadi ada privat loss sebesar Rp 11 miliar. Biaya sosial untuk mengolah
gula lebih besar daripada biaya privat. Sumber perbedaannya adalah pada subsidi
modal pada penggilingan sebesar Rp 69 miliar.
Kesimpulan yang didapat dari penelitian
ini adalah terdapat biaya sosial yang hilang sebesar Rp 465 miliar. Petani,
konsumen dan pemerintah menyubsidi produksi gula. Bagi petani, transfer yang
diterima dari subsidi modal, input dan harga yang lebih tinggi dari harga dunia
akan digantikan dengan kerugian hilangnya kemungkinan mendapatkan hasil dengan
alternatif yang menguntungkan. Konsumen membayar Rp 263 miliar lebih banyak
jika harga gula domestik tidak sama dengan harga dunia. Pemerintah akan
kehilangan sebesar Rp 88 miliar dalam bentuk subsidi modal ke penggilingan dan
petani TRI serta Rp 34 miliar subsidi untuk input bahan kimia.
Rawan dan Hutabarat (1991) melakukan
penelitian yang berjudul Analisis Efisiensi Penggunaan Masukan dan Ekonomi
Skala Usaha pada Usahatani Tebu di Jawa Timur. Berdasarkan analisis fungsi
keuntungan maka hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Pada usahatani tebu,
perubahan upah tenaga kerja memiliki pengaruh lebih besar terhadap keuntungan
usahatani dibandingkan dengan perubahan harga bibit,pupuk dan obat.
2.
Bila dibandingkan menurut
kategori tanaman tebu, pengaruh upah tenaga kerja terhadap keuntungan usahatani
lebih besar pada tanaman tebu baru lahan sawah daripada tanaman tebu keprasan
lahan sawah maupun lahan kering.
Pola yang sama terjadi untuk pengaruh
harga pupuk dan obat. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan usahatani tebu
tanaman baru pada lahan sawah lebih peka terhadap perubahan harga masukan
usahatani dibanding tebu keprasan. Penggunaan masukan pada usahatani tebu
keprasan lahan sawah maupun lahan kering sudah efisien. Namun pada tanaman tebu
baru lahan sawah hanya penggunaan bibit yang telah efisien. Hal ini
berimplikasi untuk memaksimumkan keuntungan usahatani tebu baru lahan sawah
penggunaan tenaga kerja, pupuk, dan obat hendaknya ditingkatkan.
Kajian yang dilakukan Ernawati (1997)
melalui model persamaan simultan menggunakan data seri tahun 1965-1995 dengan
metode penggunaan parameter menggunakan metode 2 SLS menunjukkan hasil bahwa
dalam 30 tahun terakhir produksi gula meningkat dengan laju 5.18 persen per
tahun, terutama disebabkan oleh peningkatan luas areal tanam bukan karena
produktivitas tanaman tebu. Produksi tebu secara nyata dipengaruhi oleh luas
areal tanam tebu tahun lalu dan rasio luas areal tanam di lahan kering/luas
areal tanam total. Sementara itu dari tujuh variabel, peningkatan produktivitas
tebu secara nyata hanya dipengaruhi oleh produktivitas tahun lalu dan musim.
Stok gula nasional dipengaruhi oleh
produksi gula, stok tahun sebelumnya dan kebijakan pemasaran. Sedangkan impor
dipengaruhi oleh nilai tukar dan jumlah populasi. Sedangkan sisi permintaan
terdiri dari dua persamaan struktural yaitu permintaan gula rumah tangga yang
dipengaruhi oleh pendapatan per kapita dengan nilai elastisitas sebesar 0.54
dan permintaan gula industri secara nyata dipengaruhi oleh tingkat pendapatan
per kapita.
Studi PAM tentang gula lainnya dilakukan
oleh Malian (1998) berjudul Dampak Deregulasi Gula terhadap Penerimaan Petani
Tebu bertujuan untuk mengetahui efisiensi ekonomi dan insentif yang diperoleh
dari intervensi pemerintah, serta dampaknya terhadap aktivitas usahatani,
pengolahan dan pemasaran. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komoditas gula
memiliki keunggulan komparatif di pasar internasional. Hal ini terlihat dari
tingkat keuntungan pada harga sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan
keuntungan yang diperoleh dari harga pasar. Berdasarkan harga pasar, keuntungan
yang diperoleh petani setelah deregulasi adalah sebesar Rp 5 410 100 pada lahan
sawah,
Rp 5 258 800 pada lahan kering dengan pola kredit dan Rp 4 940 600 untuk lahan
kering pola swadana. Berdasarkan harga sosial keuntungan usahatani yang
diterima meningkat menjadi Rp 8 217 100 pada lahan sawah, Rp 8 068 200 pada
lahan kering pola kredit, dan Rp 7 737 700 untuk lahan kering pola swadana.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah setelah adanya deregulasi, pengembangan
usahatani tebu secara ekonomi dapat dikatakan efisien dalam penggunaan
sumberdaya domestik. Hal ini tercermin dalam indeks DRCR untuk mengetahui
efisiensi ekonomi relatif dari sistem komoditas gula yang berkisar antara
0.1133 sampai 1.1291, dengan demikian pengembangan komoditas tebu untuk memasok
kebutuhan bahan baku pabrik gula dapat terus dilanjutkan.
Analisis keunggulan komparatif dan
kompetitif usahatani tebu yang dilakukan oleh Salem et al. (2004). Hasil
analisisnya menyimpulkan bahwa usahatani tebu di Kabupaten Kediri, Kabupaten
Ngawi, dan Kabupaten Klaten tidak mempunyai keunggulan komparatif yang
ditunjukkan oleh nilai koefisien DRC > 1. Namun, usahatani di Kabupaten
tersebut masih memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan oleh nilai
koefisien PCR < 1. Keunggulan kompetitif yang diperoleh lebih disebabkan
oleh kebijakan pemerintah yang cenderung protektif.
Hadi dan Nuryanti (2005) meneliti
tentang dampak kebijakan proteksi terhadap ekonomi gula Indonesia. Dari
penelitiannya disimpulkan bahwa kebijakan proteksi berupa tarif maupun non
tarif menyebabkan kenaikan harga gula domestik. Kenaikan tersebut tercermin
pada selisih antara harga paritas impor gula di tingkat grosir dengan harga
aktual di tingkat grosir. Harga paritas impor gula di tingkat grosir pada tahun
2004 adalah Rp 2 201 per kg dan harga aktual di tingkat grosir adalah Rp 3 707
per kg. Selisih antara tingkat harga tersebut adalah Rp 1 505 per kg yang
merupakan selisih harga akibat diterapkannya proteksi berupa tarif dan non
tarif.
Studi yang dilakukan oleh Susila dan
Sinaga (2005) tentang analisis kebijakan industri gula Indonesia, didapati
bahwa berbagai kebijakan yang ditetapkan pemerintah seperti kebijakan harga
provenue gula, tarif impor, tariff rate quota, dan subsidi input merupakan
instrumen kebijakan yang efektif untuk mengembangkan industri gula nasional dan
mengurangi impor. Namun tingkat efektivitas dari masing-masing kebijakan
berbeda. Kebijakan harga provenue gula memiliki efektivitas yang lebih
tinggi dibandingkan kebijakan tariff rate quota dan kebijakan tarif.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Sejarah Penyebaran Tebuh Dan Lahirnya Suatu Kebijakan
Tebu, Saccharum officinarum L, memiliki sejarah yang
panjang sebagai komoditas pertanian komersial. Tebu diperkirakan berasal dari
Papua dan mulai dibudidayakan sejak tahun 8000 sebelum masehi (SM). Tanaman ini
kemudian menyebar ke berbagai tempat di dunia seiring dengan migrasi manusia,
menyeberangi lautan dan mengarungi daratan. Tebu dari Papua menyebar ke
kepulauan Solomon, New Hebride dan Kaledonia Baru.
` Alkisah dua orang nelayan di
Kepulauan Polinesia menemukan potongan batang tebu tersangkut di jaring ikan
mereka. Salah seorang nelayan kemudian melemparkan batang tersebut ke darat
karena mengira itu adalah potongan batang kayu biasa yang tidak berguna.
Beberapa hari kemudian mereka melihat tunas-tunas muncul dan memanjang dari
batang tersebut, yang kemudian diketahui sebagai tebu. Setelah itu, tanaman
tebu berkembang di berbagai lokasi di Polinesia.
Dua abad kemudian tebu masuk ke wilayah Indonesia
tengah dan barat, Philipina, serta bagian barat India. Gula kasar pernah
diproduksi di India antara 400 SM hingga tahun 700 M (Masehi). Dari India, tebu
dibawa ke China. Di China nira tebu dijemur matahari membentuk padatan yang disebut
madu batu. Tahun 500 M tebu mulai memasuki Persia. Saat itu tebu dipakai
sebagai pemanis pengganti madu dalam makanan dan minumam. Penyebaran tebu dari
Persia ke wilayah yang lebih luas diawali oleh Nabi Muhammad SAW tahun 632 M
atau sesaat sebelum beliau wafat ke berbagai wilayah khususnya Jazirah Arab.
Tahun 710 M tebu masuk ke Mesir dan selanjutnya menyebar ke Maroko, Suriah,
Mediterania, Madeira, dan pulau Canary. Dari Maroko, tanaman tebu menyebar ke
Spanyol pada 755 M dan ke Sisilia tahun 950 M.
Secara historis, industri gula merupakan salah satu
industri perkebunan tertua dan era penting yang ada di Indonesia. Sejarah
menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada
tahun 1930-an dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula,
produktivitas sekitar 14.8% dan rendemen mencapai 11.0%-13.8%. Dengan produksi
puncak mencapai sekitar 3 juta ton, dan ekspor gula pernah mencapai sekitar 2.4
juta ton. Hal ini didukung oleh kemudahan dalam memperoleh lahan yang subur,
tenaga kerja murah, prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi
(Simatupang et al., 1999; Tjokrodirdjo, et al., 1999; Sudana et
al.,2000).
Setelah mengalami berbagai pasang-surut, industri
gula Indonesia sekarang hanya didukung oleh 60 pabrik gula (PG) yang aktif
yaitu 43 PG yang dikelola BUMN dan 17 PG yang dikelola oleh swasta (Dewan Gula
Indonesia, 2000). Luas areal tebu yang dikelola pada tahun 1999 adalah sekitar
341057 ha yang umumnya terkonsentrasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan
Sulawesi Selatan. Pada dekade terakhir, khususnya periode periode 1994-2004,
industri gula Indonesia menghadapi berbagai masalah yang signifikan. Salah satu
indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor
yang terus meningkat, dari
194,700
ton pada tahun 1986 menjadi 1.348 juta ton pada tahun 2004, atau meningkat dengan
laju 11.4 % per tahun. Pada periode 1994- 2004, impor gula meningkat dengan laju
7.8 % per tahun. Hal ini terjadi karena ketika konsumsi terus meningkat dengan
1.2 % per tahun produksi gula dalam negeri menurun dengan laju –1.8 per tahun Penurunan
produksi bersumber dari penurunan areal dan penurunan produktivitas seperti
penurunan rendemen dari 10% pada tahun 1970-an menjadi rata-rata hanya 6.92% pada
tahun 1990-an (Dewan Gula Indonesia, 1999).
Harga gula di pasar internasional yang
terus menurun dan mencapai titik terendah pada tahun 1999 juga menjadi penyebab
kemunduran industri gula Indonesia. Penurunan harga gula ini terutama
disebabkan oleh kebijakan hampir semua negara produsen utama dan konsumen utama
melakukan intervensi yang kuat terhadap industri dan perdagangan gula. Sebagai
contoh, hampir semua negara menerapkan tarif impor lebih dari 50%. Di samping
itu, kebijakan dukungan harga (price support) dan subsidi ekspor masih
dilakukan oleh negara besar seperti Eropa Barat dan Amerika. Hal ini
menempatkan pasar gula merupakan pasar dengan tingkat
distorsi
tertinggi kedua setelah beras (Noble, 1997; Kennedy, 2001; Groombridge, 2001).
Membiarkan impor terus meningkat berarti membiarkan
industri gula terus mengalami kemunduran yang akan menimbulkan masalah bagi
Indonesia. Pertama, industri gula melibatkan sekitar 1.4 juta petani dan tenaga
kerja (Bakrie dan Susmiadi, 1999). Kedua, kebangkrutan industri gula juga
berkaitan dengan aset yang sangat besar dengan nilai sekitar Rp 50 triliun .
Ketiga, gula merupakan kebutuhan pokok yang mempunyai pengaruh langsung
terhadap inflasi, sesuatu yang mengkhawatirkan pelaku bisnis, masyarakat umum,
dan pemerintah. Lebih jauh, membiarkan ketergantungan kebutuhan pokok yang
harganya sangat fluktuatif dengan koefisien keragaman harga tahunan sekitar 48%
akan berpengaruh negatif terhadap upaya pencapaian ketahanan pangan (Pakpahan,
2000; Simatupang et al. 2000). Selanjutnya, beban devisa untuk
mengimpor
akan terus meningkat yang pada lima tahun terakhir rata-rata devisa yang
dikeluarkan
sudah mencapai US$ 200 juta (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2000).
Sejalan dengan hal tersebut, tulisan ini akan
membahas mengenai kebjiakan dinamika impor gula Indonesia dikaitkan dengan
kebijakan, baik itu kebijakan pergulaan nasional maupun perdagangan di pasar
internasional serta alternatif kebijakan yang berkaitan dengan impor gula
Indonesia. Setelah Pendahuluan, terlebih dahulu akan dibahas kebijakan perdagangan
dan industri pergulaan di pasar internasonal. Selanjutnya bahasan akan difokuskan
pada dinamika impor gula Indonesia yang diikuti dengan pembahasan kebijakan
pergulaan domestik. Selanjutnya, bahasan akan ditekankan pada alternative kebijakan
impor yang memberikan medan persaingan yang adil (fair) bagi industri
gula nasional.
Kebijakan
pengembangan sector pertanian ini diambil mengingat besarnya potensi sumberdaya
yang dimiliki oleh daerah-daerah di Indonesia. Selain itu, sektor ini juga
merupakan sector yang mampu menyerap tanaga kerja masyarakat yang cukup besar
sebagai penggerak perekonomian daerah yang berbasis sumberdaya local. Dalam
program pengembangan agribisnis ini, maka program investasi senantiasa diarahkan
pada komoditas‐komoditas
unggulan sebagai leading sectornya yang kemudian diharapkan dapat memberikan
multifier effect pada seKtor ikutannya. Komoditas unggulan yang dimaksud adalah
komoditas yang diusahakan berdasarkan keunggulan kompetitif dan komparatif
ditopang oleh pemanfaatan teknologi yang sesuai denga agroekosistem untuk
meningkatkan nilai tambah dan mempunyai multiflier effect terhadap
berkembangnya sector lain.
Pengembangan dan
pemilihan komoditas unggulan yang didasarkan pada pendekatan wilayah (kawasan)
dan pendekatan pasar sehingga diharapkan dapat menjamin kesinambungan produksi
melalui pemanfaatan keunggulan komperatif daerah sebagai basis pengembangan
(spesifik atau keunggulan local), dan dapat menumbuhkan pusat‐pusat
(sentra) komoditas spesifik wilayah yang mendorong keterkaitan antara wilayah
secara dinamis dan membangkitkan interaksi sector produksi dan pasar yang
dinamis.
3.2
Implikasi kebijakan
Melihat perkembangan agribisnis
pergulaan nasional yang kurang menggembirakan tersebut, pemerintah kemudian
merumuskan tujuan umum kebijakan gula nasional, yaitu :
Ø
meningkatkan
produksi dan produktivitas gula,
Ø
meningkatkan pendapatan petani tebu dan
Ø
menciptakan
Agro-Ekonomika No.1 Tahun XXXV April
2005
Kemandirian gula secara nasional. Untuk mewujudkan
ketiga tujuan tersebut di atas diperlukan kebijakan yang komprehensif untuk
pengembangan agribisnis gula nasional. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk
mendukung perkembangan industri gula nasional, antara lain kebijakan proteksi,
pemberian subsidi kepada petani tebu, pencabutan TRI, dan sebagainya.
Impor
gula sangat inelastis terhadap konsumsi maupun harga gula dunia. Maka kebijakan
proteksi yang dikeluarkan oleh pemerintah harus dilanjutkan. Kebijakan ini
merupakan kombinasi tarif yaitu Pengenaan tarif bea masuk gula impor dan non
tariff berupa pengaturan, pengawasan,
dan pembatasan impor yang mempunyai dampak menaikkan harga gula lokal.
Kebijakan ini sebaiknya dilanjutkan sampai tercapainya target swasembada gula
tahun 2009 dan sebaiknya tarif bea masuk dinaikkan paling tidak mendekati angka
50% sehingga akan memberikan kesempatan kepada PG untuk meningkatkan efisiensi
teknis dan ekonomisnya. (
Pemberian
subsidi kepada petani tebu sebesar Rp. 500,-/kg yang bukan bentuk tunai,
melainkan untuk pembenihan dan pendongkelan tanah seperti dalam SK Menkeu No.
324/KMK/01/2002 dapat dilanjutkan. Kebijakan subsidi tersebut dapat dijadikan
alternatif kebijakan jangka pendek untuk meningkatkan produkstivitas, rendeman
dan pendapatan petani tebu.
Produksi
gula nasional dipengaruhi lebih
responsif oleh produktivitas lahan tebu dengan tingkat elstisitas sebesar 1,15
maka kebijakan pengembangan usaha tani tebu sebaiknya dilanjutkan. Kebijakan
ini meliputi tiga aspek yaitu efisiensi teknis, efisiensi harga dan efisiensi
ekonomi. Kebijakan tersebut antara lain adalah kebijakan peningkatan
produktivitas dan rendeman tebu petani melalui program bongkar ratoon,
yang diharapkan dapat dilakukan dengan melibatkan petani tebu dalam penyedian
bibit tebu yang berkualitas.
Kebijakan
perluasan areal tanaman tebu sebaiknya dilakukan di luar Pulau Jawa dan
diarahkan pada lahan kering, sehingga tidak mempunyai efek negatif dengan
kepentingan program peningkatan tanaman pangan lainnya. Areal potensial
pengembangan areal tebu di luar Jawa diperkirakan mencapai 284,5 ribu hektar
yang tersebar di Sumatera, Sulawesi, Maluku dan Papua. Dari areal tersebut
sedikitnya dapat dibangun 15 PG baru, dengan kapasitas giling antara 5.000 –
20.000 TCD (tons cane per days). Pengembangan PG diluar Jawa harus mulai
dilakukan pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap produksi gula
dari wilayah Jawa.
Program
akselerasi peningkatan produksi gula sampai tahun 2007 yang ditetapkan
pemerintah setelah masa krisis moneter ini dari sisi PG perlu terus dilakukan
sampai tercapainya Program Swasembada Gula. Untuk itu perlu dilakukan
peningkatan kinerja/efisiensi PG melalui restrukturisasi PG, optimalisasi
kapasitas giling serta pengurangan jam berhenti giling (overall recovery).
Dalam konteks pengembangan kelembagaan, disarankan untuk
melakukan tiga hal yang terkait dengan
privatisasi, yaitu :
a.
Privatisasi BUMN/PTPN gula,
b.
Konsolidasi areal tebu rakyat dalam sistem satu
manajemen PG, dengan lahan petani sebagai penyertaan modal di perusahaan dan
c.
PG dapat saling mendukung demi untuk mencapai
keuntungan yang optimal
3.3 Kebijakan Harga, Perdagangan, dan Investasi
v Kebijakan Pergulaan Indonesia
Sampai
dengan tahun 2005, pemerintah pernah menerapkan berbagai kebijakan, yang secara
langsung ataupun tidak langsung, berpengaruh terhadap industri gula Indonesia.
Kebijakan pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas, dari kebijakan
input dan produksi, distribusi, dan kebijakan harga. Diantara berbagai
kebijakan produksi dan kebijakan input, kebijakan yang paling signifikan dari
pemerintah adalah kebijakan TRI yang tertuang dalam Inpres No. 9/1975, pada
tanggal 22 April 1975. Tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk meningkatkan
produksi gula serta pendapatan petani tebu. Esensi dari kebijakan tersebut
adalah membuat petani menjadi manajer pada lahannya sendiri dengan dukungan
pemerintah melalui kredit bimas, bimbingan teknis, perbaikan sistem pemasaran
dengan melibatkan KUD, serta menciptakan suatu hubungan kerjasama antara petani
tebu dan pabrik gula.
Di
samping kebijakan produksi dan input, pemerintah mengeluarkan kebijakan
distribusi dan perdagangan gula guna menjaga stabilitas pasokan dan harga gula
di pasar domestik. Beberapa kebijakan terpenting adalah Kepmenperindag No.
25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi monopoli pada BULOG untuk mengimpor
komoditas strategis, termasuk mengimpor gula. Ketika harga gula domestik terus
merosot pada pertengahan tahun 2002 dan tekanan produsen semakin kuat,
pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor,
dengan membatasi importir hanya pada importir produsen dan importir terdaftar.
Gula
yang diimpor oleh importir produsen hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
industri dari IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi lain untuk
menjadi IT, bahan baku dari PG milik IT minimal 75% berasal dari petani.
Kebijakan ini dituangkan dalam Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/ 2002, 23
September 2002. Esensi lainnya yang penting dari kebijakan tersebut adalah
bahwa impor gula akan diijinkan bila harga gula di tingkat petani mencapai
minimal Rp 3100/kg. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan harga di dalam
negeri sehingga memperbaiki pendapatan produsen. Kebijakan ini direvisi dengan
Kepmenperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 yang mewajibkan IT untuk menyangga harga
di tingkat petani pada tingkat Rp 3410/kg. Pada Mei 2005, harga ditingkat
petani yang merupakan harga minimum dengan mekanisme meksnisme dana talangan
oleh investor ditetapkan Rp 3800/kg.
Beberapa Kebijakan Pemerintah yang
Berkaitan dengan Industri Gula
Nomor
SK/Keppres/Kepmen
|
Perihal
|
Tujuan
|
Keppres No.
43/1971, 14 Juli 1971
|
Pengadaan, penyaluran,
dan pemasaran gula
|
Menjaga
kestabilan gula sebagai bahan pokok
|
Surat Mensekneg No. B.136/ABN
SEKNEG/3/74, 27 Maret 1974
|
Penguasaan,
pengawasan, dan penyaluran gula pasir non PNP
|
Penjelasan
mengenai Keppres No. 43/1971 yang meliputi gula PN
|
Inpres No.
9/1975, 22 April 1975
|
Intensifikasi
tebu (TRI)
|
Peningkatan
produksi gula serta peningkatan pendapatan petani tebu
|
Kepmen Perdagangan dan Koperasi No.
122/Kp/III/81, 12 Maret 1981
|
Tataniaga gula
pasir dalam negeri
|
Menjamin
kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir serta peningkatan pendapatan
petani
|
Kepmenkeu No. 342/KMK.011/1987
|
Penetapan harga
gula pasir produksi dalam negeri dan impor
|
Menjamin
stabilitas harga, devisa, serta kesesuaian pendapatan petani dan pabrik
|
UU No. 12/1992
|
Budidaya tanaman
|
Memberikan
kebebasan pada petani untuk menanam komoditas sesuai dengan prospek pasar
|
Inpres No.
5/1997, 29 Desember 1997
|
Program pengembangan tebu rakyat |
Pemberian peranan
pada pelaku bisnis dalam rangka perdagangan bebas
|
Inpres No. 5/1998,
21 Januari 1998
|
Penghentian pelaksanaan Inpres No. 5/1997 |
Kebebasan pada
petani untuk memilih komoditas sesuai dengan UU No. 12/1992
|
Kepmen
Perindag No. 25/MPP/Kep/1/1998
|
Komoditas
yang diatur tataniaga impornya
|
Mendorong
efisiensi dan kelancaran arus barang
|
Kepmenhutbun
No. 282/Kpts-IX/1999, 7 Mei 1999
|
Penetapan
harga provenue gula pasir produksi petani
|
Menghindari
kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi
|
Kepmenperindag
No. 363/MPP/Kep/8/1999, 5 Agustus 1999
|
Tataniaga
impor gula
|
Pengurangan
beban anggaran pemerintah melalui impor gula oleh produsen
|
Kepermenindag
No. 230/MPP/
Kep/6/1999, 5 Juni 1999 |
Mencabut
Kepmenperindag No. 363/MPP/Kep/8/1999
|
Pembebanan
tarif impor gula untuk melindungi industri dalam negeri
|
Kepmenkeu No.
324/KMK.01/2002
|
Perubahan
bea masuk
|
Peningkatan
efektivitas bea masuk
|
Kepmenperindag
No. 643/MPP/Kep/9/2002, 23 September 2002
|
Tataniaga
impor gula
|
Pembatasan
pelaku impor gula hanya pada importir gula produsen dan importir gula
terdaftar untuk peningkatan pendapatan petani/produsen
|
Kepmenperindag
No. 527/MPP/Kep/9/2004
|
Penyempurnaan
tataniaga impor gula
|
IT
wajib menyangga harga di tingkat petani dan impor dilakukan bila harga
minimum Rp 3410
|
3.4 Percepatan
Pemanfaatan Lahan Potensial Untuk Pembangunan Industri Gula
Perkembangan perluasan
areal perkebunan tebu berjalan sangat lambat, tidak seperti komoditas
perkebunan lainnya khususnya sawit yang berjalan begitu cepat. Dalam upaya
untuk memanfaatkan lahan potensial dan investasi pembangunan industry gula di
kawasan Indonesia bagian timur perlu dilakukan langkah terencana oleh semua
pihak yang terkait, termasuk pemerintah, investor, lembaga penelitian dan
masyrakat. Di lain pihak, pembangunan industri gula di kawasan ini bersifat
sangat strategis, selain dilihat dari sisi kebutuhan pasok gula menuju
swasembada, juga akan bermanfaat dalam mendorong pemerataan pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, agar percepatan
pengembangan indutri gula di Indonesia bagian temur dapat
segera terealisasi, maka diperlukan upaya dukungan, anatara lain sebagai
berikut ;
v Menyediakan
dan meningkatkan akses informasi potensi sumber daya lahan
Telaah potensi
sumberdaya lahan yang sesuai untuk tebu di Indonesia bagian timur relatif masih
sedikit, sementara potensinya masih cukup luas. Oleh karena itu, pemerintah
harus mampu menyediakan informasi potensi sumberdaya lahan sesuai untuk tebu
minimal sampai pada tingkat tinjau mendalam. Bekerjasama dengan lembaga yang
kompeten, pemerintah harus lebih banyak mengadakan kajian secara intensif, yang
hasil-hasilnya dapat dikemas sebagai sumber informasi yang lebih menarik dan
dapat diakses secara mudah.
v Menempatkan
ketersediaan lahan untuk tebu pada tingkat prioritas tinggi
Kebutuhan konsumsi gula
setiap tahun terus meningkat, sementara pasok gula dari sentra produksi sudah
sampai mendekati kondisi optimal. Lahan potensial untuk areal perkebunan tebu
yang diandalkan disinyalir tinggal di kawasan Indonesia bagian timur. Namun demikian,
dikarenakan persyaratan tumbuh tebu sangat tinggi, maka lahan yang dapat
dikembangkan untuk tebu di Indonesia menjadi lebih terbatas. Sementara di sisi
lain, lahan yang sesuai tebu pada umumnya dapat dikembangkan untuk komoditas
lain. Pada kondisi ini kenyataannya tebu menjadi sulit bersaing dan sering
posisinya dikalahkan oleh kepentingan lainnya. Oleh karena itu, untuk
menghindari lahan potensial untuk tebu digunakan untuk kepentingan komoditas
industri lain yang sesungguhnya peluangnya masih cukup banyak dapat menggunakan
alternatif lahan lain, maka pemerintah harus menetapakan kebijakan perlu
menempatkan lahan potensial tebu pada prioritas tinggi supaya lahan yang
ketersediaanya terbatas tersebut tidak terganggu oleh kepentingan penggunaan lahan
lainnya.
v Dukungan
pembangunan infrastruktur
Sejauh ini lahan
potensial yang sesuai untuk tebu yang telah diidentifikasi karakteristik fisik
lingkungannya, pada umumnya memiliki aksesibitas rendah. Di lain pihak dengan
kecenderungan situasi pergulaan yang kondusif, cukup banyak investor yang
tertarik untuk investasi pembangunan industri gula. Namun kenyataannya,
perkembangan areal perkebunan tebu berjalan ditempat. Investasi pembangunan
pabrik gula sering terkendala oleh infrastruktur yang rendah sehingga membebani
biaya investasi pembangunan industri gula menjadi sangat mahal. Oleh karena
itu, pemerintah daerah harus mendorong pembangunan infrastruktur di sekitar
kawasan areal potensialnya.
v Dukungan
kebijakan pemerintah
Investasi di
bidang industri gula memerlukan biaya yang sangat besar dan memiliki peranan
cukup penting dalam mendorong perekonomian nasional. Agar investasi industri
gula dapat terwujud maka pemerintah perlu mendorong situasi usaha yang lebih
kondusif, misalnya dengan memberikan insentif dan kemudahan seperti jaminan
keamanan, keringanan perpajakan, kemudahan perijinan, kemudahan dalam
memperoleh lahan (temasuk peran masyarakat adat) dan konsistensi dalam
penerapan kebijakannya dalam perspektif jangka panjang.
v Dukungan SDM dan Teknologi
Pengelolaan industri gula merupakan usaha yang
padat karya dan membutuhkan tenaga kerja yang terampil. Sebagaimana diketahur
dari hasil survei bahwa di sekitar lokasi lahan potensial yang dijumpai di
Indonesia bagian timur pada umumnya memiliki jumlah penduduk yang terbatas.
Selain itu, masyarakat yang ada di sekitar lokasipun pada kenyataannya tidak
terbiasa bekerja di perkebunan tebu. Hal ini akan memberikan persoalan
tersendiri. Untuk menjamin ketersediaan tenaga kerja yang cukup dan handal,
maka pemerintah dan investor dapat bekerja sama menyediakan sarana kegiatan
berupa pelatihan dan pembekalan pengetahuan terhadap masyarakat yang mampu
bekerja. Tenaga terampil yang mampu bekerja di industri gula dapat pula
didatangkan dari Jawa. Dalam menyediakan tenaga kerja, khususnya untuk tenaga
pekerja di perkebunan tebu, pemerintah daerah apabila memungkinkan dapat mengupayakan
melalui program transmigrasi. Keterbatasan potensi sumberdaya yang tersedia di
kawasan indonesia bagian timur, memeperlukan dukungan teknologi on farm maun
off farm yang memadai. Seperti misalnya, dari sisi on farm, teknologi
mekanisasi mampu mengurangi beban kelangkaan tenaga kerja, penggunaan varietas
dan pengendalian jasad penggangu serta sarana produksi lainnya merupakan
kebutuhan ditahap awal yang cukup mendesak. Sedangkan dari sisi on farm dapat
menggunakan adopsi teknologi industry gula yang sudah maju.
3.5 Dampak positif dan negative dari suatu kebijakan
Untuk menganalisa perkembangan kebijakan pergulaan
nasional dilakukan secara deskriptif, menilai dampak kebijakan pergulaan
nasional terhadap kondisi pergulaan nasional menggunakan esensi metode Regulatory
Impact Assessment (RIA) dan menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi
harga gula domestik digunakan metode Two-Stage Least Square (2SLS)
sehingga ketiga analisis ini dapat dijadikan informasi dalam membuat
rekomendasi kebijakan. Data yang digunakan adalah data sekunder dalam bentuk time
series dengan periode waktu 31 tahun, yaitu dari tahun 1975 hingga 2005.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan
pergulaan yang diterapkan pemerintah secara garis besar terdiri dari tiga regim
yaitu, periode Bulog (1975- 1998), periode bebas dan transisi (1999-2002) dan
periode proteksi dan promosi (2003-2005). Penilaian terhadap dampak kebijakan
pergulaan nasional yang digambarkan berupa sisi positif dan negatif dari
masing-masing kebijakan pergulaan nasional dilakukan secara deskriptif.
Penerapan kebijakan pada periode Bulog menunjukkan bahwa sisi negatif lebih
banyak daripada sisi positif yaitu menimbulkan adanya fluktuasi harga gula
domestik yang memberikan ketidakpastian harga baik produsen maupun konsumen.
Kondisi ini digambarkan pada kebijakan yang diterapkan periode bebas dan
transisi, dimana sisi negative lebih banyak dibandingkan sisi positif dari
berbagai kebijakan tersebut.
Lain halnya pada periode proteksi dan promosi, sisi
positif lebih besar dibandingkan sisi negatif. Sisi positif dari kebijakan yang
diterapkan pada periode proteksi dan promosi adalah menyehatkan industri gula.
Namun, esensi dari sisi negative kebijakan yang diterapkan pada periode
proteksi dan promosi dampaknya lebih jelas pada jangka panjang dan menimbulkan
penurunan daya saing gula domestik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
harga gula di tingkat petani, harga impor gula, harga gula domestik di tingkat
eceran tahun sebelumnya dan kebijakan proteksi dan promosi berpengaruh positif
sedangkan impor gula dan nilai tukar
berpengaruh
negatif terhadap harga gula domestik di tingkat eceran.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa harga gula
domestik di tingkat eceran, rasio harga gula di tingkat petani terhadap harga
dasar gabah, harga pupuk, tingkat inflasi, dan kebijakan proteksi dan promosi
berpengaruh positif terhadap harga gula di tingkat petani. Namun, harga impor
gula tidak berpengaruh nyata. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa kebijakan
bebas dan transisi berpengaruh positif terhadap harga gula di tingkat petani.
Kondisi ini tidak sesuai dengan teori dan konsep, dimana kebijakan bebas dan
transisi seharusnya berpengaruh negatif terhadap harga gula di tingkat petani.
Oleh karena itu, timbul ketidaktepatan pada persamaan dalam penelitian ini
sehingga diperlukan re-estimasi.
Ketiga analisis ini memberikan kesimpulan bahwa
kebijakan proteksi dan promosi mampu menyehatkan kondisi pergulaan nasional.
Namun, adanya disparitas harga gula domestik yang lebih tinggi dari harga impor
menunjukkan gejala penurunan daya saing sehingga kebijakan ini belum mampu
meningkatkan daya saing gula domestik. Oleh karena itu, kebijakan proteksi dan
promosi harus didukung dengan kebijakan lain untuk meningkatkan daya saing gula
domestik
secara komperhensif dari subsistem hulu sampai
hilir. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah menganalisa sejauhmana kinerja
industri gula mampu menjadi industri yang kompetitif di masa yang akan datang
dan menganalisa mekanisme distribusi gula sampai tingkat eceran serta
faktorfaktor yang dapat mempengaruhi penetapan harga gula domestik di tingkat.
3.6 Lembaga Yang Mengawasi Atau
Yang Bertanggung Jawab Atas Pelaksanaan Kebijakan Pergulaan Di Indonesia
Pelaku utama dari pendistribusian gula adalah
industri hilir dari sistem pergulaan nasional. Yaitu pabrik gula, baik gula kristal
maupun gula rafinasi, pedagang gula, serta konsumen. Pelaku lain yaitu
pemerintah sebagai pembuat kebijakan yang mengatur sistem pergulaan nasional
mulai dari hulu hingga hilir. Peran lain dari pemerintah dalam distribusi gula
adalah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bernama BULOG.
Sistem pergulaan nasional Big
Picture Mapping adalah sistem yang dikaji dalam pengkajian ini. Sistem ini
terdiri atas industri hulu yaitu petani tebu, industri proses yaitu pabrik
gula, dan industri hilir berupa distributor. Lingkup dari penelitian ini adalah
pada industri hilir dari sistem pergulaan nasional, khususnya pada jaringan
distribusi yang meliputi pabrik gula, pedagang, dan konsumen.
Selain pelaku inti dalam sistem
ini, dikaji pula keterkaitan dan peran pemerintah dalam sistem ini. Yakni
sebagai pengawas dan perumus kebijakan. Begitupun peran organisasi seperti
asosiasi pedagang, organisasi ini turut dikaji karena perannya cukup besar
dalam mengawasi kegiatan dalam sistem, khususnya mengawasi pedagang besar gula.
Hubungan keterkaitan dari setiap pelaku
industri hilir penting diketahui agar dapat dipahami dengan baik peran
masing-masing pelaku. Pabrik gula sebagai produsen gula, baik gula kristal
maupun rafinasi berperan besar dalam menyediakan gula untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi gula. Selain pabrik gula, importir juga mempunyai peran dan fungsi
yang sama, yaitu penyedia gula impor. Sedangkan pedagang, baik pedagang besar
maupun retailer berperan
dalam penyaluran gula dari pabrik gula kepada masyarakat sebagai konsumen.
Asosiasi pedagang akan membantu dalam memanajemen beberapa pedagang besar dalam
pendistribusian, karena asosiasi ini merupakan wadah bagi para pedagang dalam
menjalankan fungsi distribusinya. Pemerintah selain sebagai pengawas dan
perumus kebijakan, juga memberikan bantuan dalam pendistribusian gula melalui
lembaga BUMN yaitu BULOG.
BAB
IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
a. Budidaya
tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat
tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan. Variabel yang sangat
penting dalam proses budi daya tanaman tebu adalah keadaan lahan, agroklimat,
waktu tanam, teknik budi daya, proporsi tebu pertama dan tebu keras serta panen
(tebang dan angkut).
b. Membiarkan
impor terus meningkat berarti membiarkan industri gula terus mengalami
kemunduran yang akan menimbulkan masalah bagi Indonesia.
c. Implikasi
kebijakan yaitu Melihat perkembangan agribisnis
pergulaan nasional yang kurang menggembirakan tersebut, pemerintah kemudian merumuskan
tujuan umum kebijakan gula nasional, yaitu :
·
meningkatkan
produksi dan produktivitas gula,
·
meningkatkan pendapatan petani tebu dan
·
menciptakan
Agro-Ekonomika No.1 Tahun XXXV April
2005
d.
Kemandirian gula secara nasional.
Untuk mewujudkan ketiga tujuan tersebut di atas diperlukan kebijakan yang
komprehensif untuk pengembangan agribisnis gula nasional. Pemerintah telah
mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendukung perkembangan industri gula
nasional, antara lain kebijakan proteksi, pemberian subsidi kepada petani tebu,
pencabutan TRI, dan sebagainya.
e. Penerapan
kebijakan pada periode Bulog menunjukkan bahwa sisi negatif lebih banyak
daripada sisi positif yaitu menimbulkan adanya fluktuasi harga gula domestik
yang memberikan ketidakpastian harga baik produsen maupun konsumen. Kondisi ini
digambarkan pada kebijakan yang diterapkan periode bebas dan transisi, dimana
sisi negative lebih banyak dibandingkan sisi positif dari berbagai kebijakan
tersebut.
f.
Sisi positif dari kebijakan yang
diterapkan pada periode proteksi dan promosi adalah menyehatkan industri gula.
g. lembaga
yang mengawasi atau yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan pergulaan
di indonesia yaitu Pelaku utama dari pendistribusian gula adalah
industri hilir dari sistem pergulaan nasional. Yaitu pabrik gula, baik gula
kristal maupun gula rafinasi, pedagang gula, serta konsumen. Pelaku lain yaitu
pemerintah sebagai pembuat kebijakan yang mengatur sistem pergulaan nasional
mulai dari hulu hingga hilir. Peran lain dari pemerintah dalam distribusi gula
adalah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bernama BULOG.
4.2 Saran
Penulisan
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmito,
K. 1998. Sistem Kelembagaan Sebagai Salah Satu Sumber Pokok Permasalahan
Program TRI: Suatu Tinjauan. Retrospeksi. Bulletin Pusat Penelitian Perkebunan
Gula Indonesia, (148):59-85.
Departemen
Perdagangan. 1994. Implikasi Kesepakatan GATT Terhadap Sektor Pertanian
Indonesia. Departemen Perdagangan, Jakarta.
Devadoss,
S dan J. Kropf, 1996. Impacts Of Trade Liberalizations Under The Uruguay Round
On The World Sugar Market. Agricultutal Economics, (15): 83-96
Dewan Gula
Indonesia. 1999. Restrukturisasi Gula Indonesia April 1999. Bahan Diskusi
Reformasi Gula Indonesia, Dewan Gula Indonesia, Jakarta.
Elbehri,
A., T. Hertel, M. Ingco, K. R. Pearson. 2000. Partial Liberalization Of The
World Sugar Market: A General Equilibrium Analysis Or Tarif-Rate Quota Regimes.
Makalah disajikan pada Third Annual Conference on Global Economics Analysis,
Melbourne, Australia, 27-30 Juni 2003.
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=sejarah+perkembangan+kebijakan+pertanian+tebuh+menjadi+gula&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCEQFjAA&url=http%3A%2F%2Fsugarresearch.org%2Fwp
content%2Fuploads%2F2009%2F08%2Fsejarah-tebu
jawa.pdf&ei=2hRxUMO1KpGqrAf7mYH4Bw&usg=AFQjCNH05NpwZ2eqzCUe9QBXktR8Ejdi6A
1 komentar:
Dear Staff Export
Saya dari PT Tiga Sekawan Sukses Ekspress ingin memperkenalkan service yang kami miliki yaitu pengiriman Export/Import barang :
General Cargo
Dangerous Goods/Chemical, dan
Perishable
Dengan AirFreight Ke mancanegara dengan cepat , aman , nyaman, dan dapat bersaing harga. Kami merupakan TOP Agent dan direct semua Airlines dan dapat dijadikan rekanan oleh Freight Forwading untuk bekerja sama dalam proses pengiriman.
Mengenai price list kami berdasarkan case by case tujuan, berat dan barang yg dikirim ,
Untuk perbandingan dengan yang sudah ada, ataupun pertanyaan jangan ragu menghubungi saya untuk mengecheck Rate yang dibutuhkan baik via Udara.
Kami sangat mengharapkan dan menunggu kabar baiknya.
Atas perhatian dan kerja samanya saya ucapkan terimakasih.
Thank You
--
NOTE :
Following to the release of MOF Regulation No. 38/PMK.011/2013, PT Tiga Sekawan Sukses Ekspres will be in compliance with the Indonesia regulation,
The Value Added Tax (VAT) will be levied effective from January 01, 2016.
1. All freight components will be charged VAT 1%.
===============================
Best Regards,
Feri
(Airfreight International)
PT TIGA SEKAWAN SUKSES EKSPRESS
Komplek Puri Delta Mas Blok D1-3
Jalan Bandengan Selatan Raya no 43
Tel : 62-21 66692366 (hunting)
Fax : 62-21 66692602/466/477
mobile : 087808065341
Email : ferian@three-ss.com
Posting Komentar