Percayakah, konflik terbesar kita
alami dengan orangtua? Sejak kanak-kanak hingga dewasa, seorang anak hampir
pasti mengalami pertentangan dengan orangtua.
Dalam permasalahan kehidupan,
konflik yang cukup besar kita rasakan hambatannya adalah yang berkaitan dengan
konflik spiritual (norma dan aturan agama, juga hal-hal prinsipiel). Di
dalamnya yang termasuk paling berat, ketika kita berkonflik dengan orangtua,”
ujar Anggia Chrisanti Wiranto, konselor dan terapis di biro psikologi Westaria.Tidak
perlu tentang masalah serius, hal-hal menyenangkan pun kerap menjadi berat
ketika sudah menyangkut orangtua.
Ingat momen Lebaran kemarin? Tentang
di mana akan berlebaran pun kerap menimbulkan konflik.“Konflik adalah ketika
ada lebih dari satu keinginan, kebutuhan pada saat bersamaan.
inginnya kita begini, tapi orangtua
maunya begitu. Misal, inginnya berlebaran di rumah, tapi orangtua menginginkan
kita pulang kampung. Karena terjadinya di saat yang bersamaan, pasti salah satu
(keinginan) harus tertunda atau terabaikan. Itu baru masalah sepele, apalagi
jika konflik yang terjadi itu memang cukup penting. Misalnya tentang bagaimana
kita sebagai anak memilih jalan hidup, tentang apa yang kita suka dan tidak
suka lakukan, dan apa yang menjadi tujuan kita.
Bisa bermacam-macam, contoh
sederhana sekaligus paling sering terjadi. Yakni sesuatu yang berkaitan dengan
jodoh dan pekerjaan.“Orangtua, tentu saja pada prinsipnya, hanya ingin yang
terbaik bagi anak. Dan menurut hemat mereka (sebagai orang yang lebih banyak
pengalaman hidup), pilihan mereka atau pola pikir mereka jelas jauh lebih baik,
karena didasari pengalaman-pengalaman dan pertimbangan-pertimbangan yang
menurut mereka lebih baik,” papar Anggia.Yang kemudian menimbulkan konflik,
ketika keinginan anak berbeda dengan keinginan orangtua.”
Sebetulnya, selama orangtua bisa
menempatkan dirinya sebagai pembimbing, dengan melihat kapasitas anak (dengan
usianya, dengan tanggung jawabnya, dengan apa yang disukainya, dan apa yang
diharapkannya), sah-sah saja untuk memberi masukan dan arahan.
Anak pun, melihat kapasitas orangtua
sebagai pengayom, yang jelas lebih banyak pengalaman hidup, seharusnya meyakini
apa yang mereka harapkan adalah demi kebaikan kita. Alangkah lebih baik jika
berusaha mendengarkan dan memilih menelaah, apa yang menjadi perkataan orangtua
memang baik.
Tentu konflik terjadi jika beberapa
hal di atas diabaikan. Orangtua memukul rata anak yang satu dengan yang
lainnya. Kebanyakan melakukan itu berdasarkan pengalaman masa lalu. Orangtua
tidak mau mendengar dan belajar memahami anak. Tentu intervensinya menjadi
subjektif. Bila terus demikian, dapat dipastikan terjadi konflik nyata. Atau
sebaliknya. Ketika anak bersikeras merasa sudah pintar, merasa sudah bisa cari
uang sendiri (ini alasan yang umum dikemukakan), merasa paling benar, maka
pasti terjadi konflik nyata.Oleh karena itu, pahami konflik dalam hidup pasti
ada. Cukup berat bobotnya jika berkaitan dengan orangtua. Namun, selama kita
bisa mencoba saling memahami, konflik bisa diselesaikan dengan baik.
Tentu tujuannya adalah kita sebagai
anak dapat menentukan pilihan hidup dengan benar. Dan mampu
mempertanggungjawabkan segala konsekunsinya. Selebihnya, semoga harapan
orangtua adalah sama dengan pilihan kita. Baik sejak awal sama atau dalam
prosesnya kemudian menjadi sama. Agar orangtua merestui jalan hidup yang kita
pilih,
2.
KONFLIK
DALAM KELUARGA
Managemen
konflik adalah kemampuan individu untuk
mengelola konflik-konflik yang dialaminya dengan cara yang tepat, sehingga
tidak menimbulkan komplikasi negatif pada kesehatan jiwanya maupun keharmonisan keluarga. Seorang istri
mengeluh bahwa dirinya merasa tidak cocok dengan suaminya justru setelah
menikah selama satu tahun. Selalu saja ada hal yang menjadi vahan pertengkaran
suami-istri, sampai istri tersebut timbul keinginan untuk bercerai. Konflik demi konflik selalu terjadi
dalam rumah tangganya yang membuatnya stres.
Kasus tersebut merupakan suatu ilustrasi bahwa konflik selalu bisa muncul dalam rumah tangga, dan bila tidak diatasi akan dapat menimbulkan gangguan psikologis baik pada pihak istri maupun suami.
Kasus tersebut merupakan suatu ilustrasi bahwa konflik selalu bisa muncul dalam rumah tangga, dan bila tidak diatasi akan dapat menimbulkan gangguan psikologis baik pada pihak istri maupun suami.
Dalam suatu keluarga biasanya
terdiri dari suami, isteri, anak, namun ada juga keluarga yang belum mandiri
sehingga dalam keluarga tersebut masi hada orang tua dari suami atau pihak
istri.
Bisa terjadi konflik antara suami –isteri, atau orang tua dengan anak, atau mertua dengan anak-cucu.
Bisa terjadi konflik antara suami –isteri, atau orang tua dengan anak, atau mertua dengan anak-cucu.
Konflik selalu terjadi dalam
keluarga dan tidak ada penyelesaiannya yang baik maka akan berdampak terhadap
keharmonisan keluarga itu sendiri yang akhirnya dapat menimbulkan
gangguan-gangguan psikologis pada individu-individu yang terlibat didalamnya.
Gangguan psikologis yang dialami bisa timbul mulai dari yang ringan sampai yang
berat.
Konflik suami-istri biasanya disebabkan oleh kurangnya rasa” saling” antara keduanya,:
Konflik suami-istri biasanya disebabkan oleh kurangnya rasa” saling” antara keduanya,:
- Kurangnya saling pengertian terhadap kelebihan dan
kekurangan masing-masing
- Kurangnya saling percaya
- Kurangnya saling terbuka
- Kurang komunikasi yang efektif
Banyak pasangan suami-istri yang
menjalani perkawinan lebih dari 20 tahun dan tetep harmonis mengungkapkan
rahasia keharmonisan keluarganya bahwa kuncinya adalah saling percaya dan
saling pengertian serta adanya komunikasi yang terbuka dan efektif. Para ahli
komunikasi menyatakan bahwa komunikator yang baik adalah orang yang dapat
menimbulkan rasa senang bagi orang yang diaajak berkomunikasi. Banyak Pasangan
yang baru menikah pada tahun-tahun pertama mengalami apa yang disebut dengan
“wedding blues” yaitu stress pasca menikah.
Hal tersebut muncul karena biasanya
masing-masing pihak kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan pasangan. “
Waktu belum jadi suami, mas Ali orangnya baik, tapi setelah jadi suami wah
ternyata orangnya jorok, suka marah, seneng perintah…capek deh” demikian antara
lain keluh kesah seorang isteri yang mengalami “ wedding blues”.
Bagaimana strategi mengatasi konflik yang muncul dalam keluarga?
Tahapan managemen Konflik sbb:
- Mengerti terhadap pekerjaan pasangan masing-masing;
berusaha membuat suami/istri merasa senang; saling menyatakan perasaan
secara terbuka; menghargai pendapat/ide pasangan; menggunakan waktu luang
bersama; saling memuaskan dalam kehidupan seksual.
- Adanya komunikasi yang efektif dan dapat menjadi
pendengar yang baim bagi pasangannya.
- Jika ada masalah, komunikasikan dengan pasangan agar
tidak berlarut-larut.
- Menyeimbangkan antara perasaan dan pikiran ( rasio ).
Tidak berpokir yang aneh-aneh kalau sesuatu hal belum terjadi. Hadapi
masalah dengan wajar
- Mencari alternatif pemecahan masalah berdasarkan sumber
masalahnya apa. Bila tidak dapat melakukan sendiri bisa mencari bantuan
pihak ketiga yang kompeten, konsultasi pada psikolog atau konselor
perkawinan.
- Memilih cara yang terbaik ( salah satu )
- Melaksanakan cara yang sudah dipilih dari kompromi
diatas
- Evaluasi penyeleseaian konflik. Hasilnya bagaimana,
lebih harmonis atau tidak
3.
CONTOH
KONFLIK DENGAN ORANG LAIN
Konflik adalah suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya. Konflik adalah salah satu pemicu
perpecahan,ada beberapa pemicu konflik,salah satu nya adalah perbedaan latar
belakang budaya, Perbedaan latar belakang
budaya menyebabkan konflik dua orang atau bisa jg antar kelompok. Perbedaan pemikiran dari suatu kelompok yang berbeda
bisa memunculkan konflik. Sebenarnya konflik adalah hal yang wajar dalam sebuah
kelompok atau organisasi. Tapi konflik bisa
saja tidak terjadi bila seseorang atau kelompok bisa menyesuaikan diri dengan
lingkungan nya dan tidak membawa-bawa latar belakang kebudayaan. Jika itu bisa
dilaksanakan kemungkinan akan terjadinya konflik akan lebih kecil dari yang
biasa nya Maka dari itu dalam sebuah
organisasi atau pun kelompok janganlah membawa-bawa kebudayaan daerah
masing-masing, marilah kita bersama,bersatu dalam suatu kesatuan.
4.
KONFLIK
ANTAR-ETNIK DAN AGAMA
A. Klaim Kebenaran
Asal
mula konflik agama pada umumnya bersumber pada adanya klaim kebenaran. Terdapat
dua kepentingan yang berkaitan dengan klaim ini. Pertama, klaim kebenaran
sebagai alat peneguh keyakinan dan landasan normatif peribadatan. Kedua,
menjadi alat pembenar (justifikasi) bagi perjuangan politik aliran. Celakanya,
kepentingan kedua menjadi sangat dominan dalam kehidupan pemeluk agama di
Indonesia.
Baik
dalam dimensi syariat maupun politik, klaim kebenaran timbul sebagai reaksi
atas kegelisahan penganut agama dalam menghadapi pilihan. Di sinilah
muncul ruang untuk menentukan pilihan berdasarkan pijakan berpikir
masing-masing. Dalam perkembangannya, pilihan-pilihan tersebut diterjemahkan
berdasarkan interpretasi masing-masing. Saling klaim kebenaran pada akhirnya
memicu disharmoni dalam relasi sosial di masyarakat. Kaidah hukum universal
berupa sunnah al-Allah menjadi samar ketika berada dalam situasi saling klaim
kebenaran.
Di
Indonesia, perbedaan interpretasi mengakibatkan polarisasi antarkelompok agama.
Polarisasi ini melahirkan dua arus utama, Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah. Perbedaan interpretasi dalam ranah fikih bertranformasi ke dalam
politik, bahkan dalam politik praktis berupa berdirinya partai politik yang
berafiliasi –atau setidak-tidaknya– memiliki basis massa dari kalangan kelompok
agama. Fenomena serupa juga terjadi dalam agama Kristen yang kemudian
melahirkan dua agama baru: Katolik dan Protestan.
B. Teologi
Proses
pemahaman agama melalui jalan teologis telah melahirkan relasi sosial yang kaku
di masyarakat. Agama telah melahirkan stratifikasi sosial secara alamiah berupa
pemegang otoritas teologis di satu sisi dan pengikut di sisi lain. Para elite,
dalam agama mana pun, berperan sebagai penafisir tunggal terhadap ayat-ayat
Tuhan maupun fenomena. Sementara itu, kelompok akar rumput berkewajiban
mengikuti fatwa kaum elite. Dari sinilah muncul kepatuhan atau bahkan fanatisme
dalam relasi vertikal.
Sialnya,
para elite yang berperan sebagai teolog tidak jarang memberikan peluang untuk
berkonflik. Interpretasi antarteolog diyakini oleh masing-masing pengikut
sebagai kebenaran mutlak. Lahirlah kelompok-kelompok eksklusif dalam agama
tertentu. Akibatnya, umat mudah terombang-ambing di antara polemik kebenaran
yang disuguhkan para teolog. Akar rumput seakan kehilangan haknya untuk
menentukan kebenaran sendiri. Pintu ijtihad tertutup bagi kalangan non-elite.
Pada akhirnya, teologi menggiring para penganutnya ke dalam sangkar-sangkar
eksklusivitas.
Mari
kita bandingkan dengan agama-agama “bumi” yang relatif berbeda dengan agama
“langit” seperti Islam, Kristen, dan Yahudi. Agama-agama langit seperti
animisme, dinamisme, Hindu, Budha, dan lain-lain lebih memberikan ruang bagi
kemanusiaan. Agama produk alam fana ini lebih mencurahkan pada fungsi pelayanan
bagi kehidupan daripada menambah jumlah pengikut. Agama bumi dunia ini lebih
mengedepankan solusi keagamaan. Dibanding agama “langit”, agama “bumi” lebih
universal dan inklusif. Karena itu, sejatinya spirit inklusivisme juga hidup
dalam agama-agama “langit”.
Paradigma
inklusif berpandangan perlu adanya pembedaan antara dakwah (kehadiran penyelamatan)
dan pengakuan terhadap agama lain. Paradigma ini mencoba memadukan antara visi
teologis dan penggunaan akal dalam mengarungi keberagaman. Akal menjadi pemilah
benang kusut klaim-klaim kebenaran. Sementara hati berfungsi sebagai
kontrol terhadap hal-hal intuitif. Pandangan pluralis ini juga berpandangan
bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri. Dengan demikian,
klaim kebenaran tunggal harus ditolak.
Perlu
kiranya ditegaskan bahwa teologi Islam berakar dari satu kata kunci: salamah. Derivasi
akar kata itu mengandung maksud bahwa Islam mendeklarasikan diri sebagai agama
yang mengemban kesadaran moral dan tugas untuk duduk bersama rendah dan berdiri
sama tinggi dengan agama lain. Dengan begitu, teologi Islam adalah membebaskan
dan menyejahterakan umat manusia di permukaan bumi. Sudah seharusnya umat Islam
lebih toleran, mengakui dan melindungi agama lain dan tentu saja terhadap
pemeluknya sendiri.
Teologi
pada dasarnya memberi penekanan bahwa setiap manusia mempunyai nilai-nilai
universal yang harus dihormati. Namun demikian, teologi pluralisme bukan
berarti penyeragaman keanekaragaman kebudayaan. Faham ini menjunjung tinggi
keberagaman dan menghargai perbedaan yang muncul di masyarakat. Titik temu
teologi pluralis bagi kelompok etnik dan agama bukan pada bentuk peleburan,
melainkan pada sikap toleran terhadap keragaman itu sendiri.
C. Peran
Agama
Tak
dapat dipungiri bahwa agama berperan besar dalam sejumlah konflik di muka bumi.
Wajar bila kemudian AN Wilson menyebut bahwa agama dapat dianggap sebagai
penyebab terjadinya berbagai konflik sosial. Agama telah mendorong seseorang
untuk mengagungkan perasaan dan pendapat sendiri atas pendapat orang lain.
Pemelik agama cenderung mengklaim sebagai pemilik kebenaran. Intinya, dalam
suasana ekstrem dan fanatik, agama bisa membawa manusia terjebak pada situasi
saling menganiaya antarsesama.
Deretan
konflik seakan menunjukkan bahwa agama memiliki peran ganda. Agama sebagai
jalan menuju kemuliaan sekaligus membawa pada jalan peperangan dan berujung
pada kehancuran. Hidup berselimut agama ibarat memeluk dua mata pisau yag
sama-sama tajam, berlawanan, dan berusaha saling menghujam. Dalam perspektif
lebih luas, agama dianggap sebagai penentu jalannya sejarah. Samuel Huntington
dengan idenya tentang benturan peradaban (clash of civilization) menganggap
bahwa masa depan akan sangat ditentukan oleh benturan antara Barat dan Islam,
ideologi dan dan kekuasaan.
Realitas
sosial menunjukkan bahwa agama kerap mendorong para pengikutnya untuk
membenarkan segala bentuk konflik terhadap agama lain. Konflik besar bisa
ditimbulkan agama manakala doktrin mengeras, yakni mengkristalnya perasaan dan
sikap secara eksklusif pada diri pemeluknya. Sikap ini mengondisikan para
pemeluk agama untuk mengklaim bahwa dirinya yang paling benar. Keyakinan inilah
yang kemudian menjadi pemicu konflik.
Konflik
sosial juga tidak lepas dari peran agama yang cenderung menerapkan standar
ganda dalam melihat agama lain. Para pemeluk agama kerap menganggap agamanya
merupakan ukuran tertinggi dari sebuah kebenaran. Hal ini kemudian dikontraskan
dengan melihat agama lain memiliki kekurangan atau tidak ideal. Standar ganda
itu juga digunakan sebagai alasan pembenar untuk segala bentuk tindak kekerasan
bernuansa agama.
D. Rasialisme
Rasialisme
atau pertentangan antarras di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari kebijakan
pemerintah kolonial Belanda yang dimulai pada abad ke-19. Kebijakan adu domba
(devide et impera) ini terus dikembangkan hingga akhir masa kekuasaannya pada
pertengahan abad ke-20. Fakta konkret politik adu domba yang dilakukan Belanda
adalah pemecahan kerajaan Mataram di Pulau Jawa. Belanda memanfaatkan friksi di
linkungan kerajaan untuk kepentingan politik kolonial. Fokus utamanya adalah
menguasai dan mengeksploitasi aset-aset ekonomi di wilayah kerajaan sekaligus
menekan kekuatan politik pribumi.
Penetrasi
kolonial diawali dengan memindahkan keraton Kartasura ke Solo dan menyerahkan
pesisir Jawa bagian utara kepada VOC setelah sebelumnya mendompleng konflik
Pakubowono II pada 1743. Pada tahun 1755, Belanda memecah Mataram menjadi empat
kerajaan melalui Perjanjian Gianti. Sistem politik kolonial terus berlanjut
dengan menggerogoti wilayah Vorstenlanden atau tanah-tanah kerajaan, istilah
untuk membedakan dengan wilayah lain di Jawa. Pembagian wilayah dimaksudkan
untuk mencegah konsentrasi kekuatan orang-orang Jawa di bawah kendali Mataram.
Tak
hanya Mataram, politik rasialisme juga dilakukan dengan cara membenturkan warga
Tionghoa dengan Jawa. Konflik juga dibangun melalui kebijakan tanam wajib atau
cultuur stelsel dan pendirian Lembaga Bahasa Jawa (Instituut Voor het
Javaansche Taal) yang di kemudian hari berkembang menjadi pusat studi
Javanologi. Lembaga ini membuka peluang bagi trah Mataram untuk mengenyam
pendidikan Barat di Belanda. Sebaliknya, timbul kalangan elite baru non-Mataram
yang juga menaruh minat pada kesusasteraan. Gesekan antara priyayi baru dengan
bangsawan ini terus dipelihara oleh Belanda.
Politik
kolonial terus bergulir. Setelah dikotomi bangsawan dan nonbangsawan, Belanda
juga mengacak-acak perkumpulan Syarikat Islam (SI). Caranya dengan menghasut
sejumlah kalangan untuk berkonfrontasi dengan SI yang dianggap merongrong
kepentingan kolonial. Bentuk lain adalah dengan membuka konflik antara penduduk
asli dengan pendatang.
E.
Radikalisme Politik
Radikalisme
politik tampaknya sudah menjadi keniscayaan di Indonesia. Memori kelam masa
kolonial menjadi acuan untuk menjalankan praktik politik pada masa kini. Para
politisi terpuruk pada pola kekuasaan tiran, kejam, dan otoriter. Pada
praktiknya, kekerasan akibat otoritarianisme menjadi alat untuk mempertahankan
kekuasaan. Parahnya, kekuasaan telah menjadi obsesi banyak orang di Indonesia.
Kekerasan
politik berwujud dalam beragam bentuk. Salah satu bentuk halus berupa pemasungan
hak-hak politik rakyat. Sementara pers sebagai salah satu pilar demokrasi
sengaja dibungkam sehingga kehilangan fungsinya sebagai alat kontrol. Inilah
yang selalu menggiring rakyat ke arah penderitaan. Pada saat yang sama,
otoritarianisme memberikan peluang kepada penguasa untuk menyelewengkan
kekuasaan.
Kekerawsan
politik tampaknya belum akan berakhir. Terlebih ketika kekerasan tak hanya
dilakukan para elite, melainkan turut dipraktikkan masyarakat. Radikalisme akar
rumput makin menajam ketika mereka sadar bahwa aspirasi politik mereka
disumbat. Mereka kecewa bahwa selama ini partisipasi politik mereka telah
dibelokkan. Mereka hanya menjadi objek politik, dan hukum telah menjadi alat
untuk menindas rakyat.
F. Kesenjangan
Ekonomi
Ekonomi
menjadi salah satu faktor determinan dalam sejarah kekerasan di Indonesia.
Kesenjangan antarkelompok menjadi titik rawan munculnya konflik etnik maupun
agama. Secara empirik, proses terjadinya kesenjangan ini dipicu sulitnya
mendapatkan akses terhadap sumber-sumber ekonomi dan sistem distribusi tidak
seimbang. Kesenjangan semakin melebar akibat sulitnya etnik tertentu mengakses
lingkaran bisnis jaringan etnik lainnya. Akibatnya, struktur kepemilikan
ekonomi menjadi terpilah secara tajam.
Di
bagian lain, asosiasi-asosiasi sosial tumbuh terkotak-kotak di masyarakat.
Kelompok the have berhimpun dalam wadah-wadah eksklusif lengkap dengan
simbol-simbol kekayaannya. Sedangkan kelompok miskin bergerombol dalam berbagai
paguyuban lengkap dengan simbol-simbol penderitaannya. Sensitivitas dalam
solidaritas etnik dan perasaan senasib kemudian menjadi begitu menakutkan bagi
sejumlah kalangan. Yang turut memperburuk adalah sulitnya kelompok miskin
memahami bahwa kaya-miskin adalah persoalan etos kerja.
G. Arogansi
Budaya
Kebudayaan
sesungguhnya merupakan hasil dari dan tumbuh dalam suasana konflik. Van Peursen
berpendapat dibangun atas dasar tarik-menarik antara transendensi dan imanensi.
Yakni, lingkaran fakta yang mengurung manusia dalam keniscayaan alam dan
keterbukaan yang dicapai oleh penilaian kritis. Produk dari tarik-menarik itu
berupa piranti teknologis untuk memenuhi dan memudahkan kehidupan.
Konflik
kebudayaan di Indonesia dikenal dengan “polemik kebudayaan” yang memuat adanya
perbedaan (atau pertentangan) di dalamnya. Polemik merupakan perdebatan tentang
pilihan desain kebudayaan yang hendak diterapkan di suatu negara yang baru
lahir. Indonesia pun berada di simpang jalan antara Kebudayaan Barat dan
Kebudayaan Timur. Peristiwa lainnya berupa perdebatan antara penganut humanisme
universal dan realisme sosialis. Polemik ini menjadi sarana penegas posisi
antarkomunitas.
Aspek
lain yang mendukung mengerasnya konflik kebudayaan terekspresikan dalam bentuk
simbol. Simbol merepresentasikan kebudayaan, baik testruktur maupun maupun
tidak. Namun demikian, simbol bukanlah realitas dari kebudayaan itu. dalam
simbol, titik rentannya terletak pada terjadinya peluang generalisasi
berlebihan. Yakni, ketika simbol direduksi menjadi realitas sehingga
mengabaikan esensi. Secara politik, simbolisasi atau labelling dipergunakan
untuk mengunggulkan, meminggirkan, sekaligus membunuh kebudayaan.
Poin
penting dalam konsep kebudayaan adalah bagaimana menjelaskan bahwa kebudayaan
bisa memicu konflik. Kata kuncinya terletak pada sikap arogan dan perasaan
lebih unggul dari yang lain. Dalam konteks kebudayaan, arogansi budaya yang
mewujud pada sikap individu maupun kelompok sesungguhnya menjadi persoalan.
Pendukung kebudayaan tertentu kerap mengabaikan eksistensi kebudayaan lain.
Padahal, konflik dapat dihindari manakala masing-masing pihak bisa merelatifkan
entitas kebudayaannya.
v Bilik-bilik Suci: Sejarah
mencatat bahwa segala bentuk konflik yang terjadi selama berabad-abad lalu
memiliki akar agama. Semua bentuk konflik itu tidak dapat dipisahkan dari
tempat suci. Keberadaan tempat ibadah menjadi pendukung tindak kekerasan.
Tempat-tempat itu pada posisi terpisah secara eksklusif. Tempat-tempat suci
telah dikendalikan oleh satu atau sejumlah orang yang masing-masing mempunyai
cara pandang berbeda-beda.
Gambaran berbagai sifat yang
melekat pada perilaku pemeluk agama telah megikibatkan kesucian tempat
menjadi tercemar. Sejarah mencatat bahwa konflik-konflik pada masa lalu.
Semua bentuk ini tidak dapat dipisahkan dari keberadaan tempat-tempat itu. Masing-masing
tempat menjadi pendukung tindak kekerasan. Di samping itu, keberadaannya juga
tidak jarang memicu konflik sosial.
Mengapa bilik-bilik suci menjadi
tempat bersemainya konflik? Hal ini tidak bisa dilepaskan dari cara pandang
para pemeluk agama. Perbedaan di kalangan elite agama mengkristal demikian
hebat di kalangan pengikutnya. Berbagai macam isi khutbah yang diserukan di
tempat suci itu sering kali menjadi bias. Nuansanya justru cenderung
mengondisikan orang untuk menegaskan diri memusuhi orang lain. Jemaah dibawa
kepada sikap dan kesadaran keliru dalam membela agamanya.
v Dakwah Agama: Metode
dakwah konvensional terus mendapat kritik dalam beberapa tahun terakhir.
Terutama menyangkut materi yang kemudian memicu kerusuhan di berbagai tempat.
Kritik utama ditujukan kepada para juru dakwah yang terjun ke dalam politik
praktis. Kemudian instutusi agama yang menjadi perpanjangan tangan kekuasaan.
Berikutnya pola dakwah yang berorientasi pada penambahan jumlah pengikut untuk
kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Tidak kalah pentingnya adalah bentuk dakwah
yang tidak memberdayakan umat. Ada lagi kritik mendasar tentang disfungsi
lembaga pendidikan bagi usaha pembebasan manusia beragama dari sikap
fatalistis.
Pada umumnya, dakwah berupaya
mengondisikan orang-orang untuk mengagumi sifat-sifat para pahlawan. Sikap
heroisme ditanamkan secara mutlak dan kecerdasan akal cenderung dinafikan.
Kesan tersebut terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Inilah yang kemudian mengkristal menjadi permusuhan yang berlaku di setiap
generasi. Cara pandang juru dakwah sangat lambat menyikapi perubahan sosial
yang terjadi di masyarakat.
Dengan demikian, diperlukan semacam
reorientasi dakwah sebagai media resolusi konflik sosial. Dakwah sejatinya
menjalankan fungsi normatif, yakni mengajak umat memperbaiki kehidupannya
dengan cara memperbaiki hubungan antarsesama manusia, Tuhan, dan lingkungan.
Dakwah sejatinya mendorong pada upaya memperbaiki kondisi perekonomian dan
mendorong terciptanya keadilan bagi semua pemeluk agama. Arah dakwan
demikianlah yang seharusnya menjadi orientasi juru dakwah.
v Ketersinggungan Agama: Ketersinggungan
agama erat kaitannya dengan peran juru dakwah sebagai penyampai pesan
“kebenaran”. Ketegangan muncul akibat penafsiran yang dilakukan elite agama
atau juru dakwah yang mengkristal menjadi kebencian di kalangan pengikut. Dari
sini muncul stigmatisasi dan stereotifikasi dari satu kelompok dalam melihat
kelompok lainnya. Dalam banyak kasus, dakwah kerap menjadi pemupuk fanatisme
dan penyubur watak garang pemeluk agama. Bentuk-bentuk dakwah itulah yang
kemudian menjadi pemicu konflik antarsesama pemeluk agama maupun interrelasi
antara satu agama dengan agama lainnya.
Pesan-pesan halus dan lembut dari
agama langit diam-diam diubah menjadi suara komandan yang galak. Agama
mengalami disfungsi menjadi instrumen yang mengabdi pada kekerasan. Pemeluk agama
mengalami kelumpuhan daya kritis dan menjadikannya sebagai kekuatan baru yang
berbahaya. Etika keberagamaan seolah mati seiring dominasi kepentingan politik
yang mengeras. Kondisi ini diperburuk dengan mencuatnya primordialisme agama
yang meluas ke arah primordialisme kedaerahan, kesukuan, dan lain-lain.
v Ketersinggungan Etnik: Di
negara dengan keberagaman etnik luar, Indonesia menjadi sangat rawan konflik
akibat gesekan antaretnik. Identitas yang melekat pada individu baik karena
bawaan keturunan maupun pengaruh kultural kerap menjadi hal yang dipersoalkan
dalam relasi sosial. Dua hal itu menjadi variabel dalam menentukan watak,
sikap, dan perilaku individu. Dalam kehidupan sehari-hari muncul kecenderungan
individu menandai sikap masing-masing yang kemudian memicu persoalan rumit
dalam relasi sosial.
Gesekan antara etnik Tionghoa
dengan etnik Jawa atau Sunda merupakan potret umum yang hidup dalam masyarakat.
Hal mendasar yang menjadi pemicu ketersinggungan tersebut terletak pada
persoalan harga diri, ekonomi, dan agama. Ketiganya rentan menjadi pemicu
konflik manakala ketersinggungan mengkristal secara ekstrem. Fenomena serupa
juga muncul dalam konflik antar-etnik lokal Indonesia. Sejumlah kerusuhan di
tanah air bermula dari adanya ketersinggungan satu etnik dari etnik lainnya.
Sebut saja misalnya kasus Dayak versus Madura, Islam versus Kristen di Ambon,
dan lain-lain.
Untuk itu, perlu adanya dialog
antar-etnik secara terus-menerus untuk membangun kesadaran masyarakat bawah
ihwal arti penting keberagaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini
bertujuan menghindari berbagai macam kesan dan sikap distortif dari kalangan
pemeluk agama. Pembicaraan di kalangan akar rumput kembali disuarakan melalui
media massa untuk memberikan resonansi bagi khalayak. Cara ini diharapkan mampu
menjernihkan problem akut dalam kehidupan bermasyarakat. Bahasa pergaulan
sedapat mungkin menghindari kesan menyudutkan kelompok lain.
Pertemuan-pertemuan inklusif pun perlu dikembangkan lebih jauh.
v Kesenjangan Ekonomi dan Relasi
Kultural
Terdapat
persoalan patologis dalam hubungan sosial masyarakat kita. Persoalan tidak
hanya muncul karena kekayaan dan kemiskinan yang menjadi simpul ekonomi yang
memisahkan masyarakat secara objektif, tetapi lebih karena kekayaan maupun
kemiskinan memang diciptakan untuk mengukuhkan jarak antarmereka. Kondisi ini
bisa dianalisis dengan menggunakan teori konflik ala Marx yang menitikberatkan
pada benturan antarkelas.
Disparitas
mencolok dalam distribusi kekayaan pada akhirnya memicu ketidakseimbangan
masyarakat. Jarak antara miskin dan kaya sulit direduksi akibat dari
kecenderungan yang sulit memihak kepada upaya tersebut. Terlebih ketika
simbol-simbol kekayaan acapkali juga menyinggung perasaan orang miskin. Sudah
barang tentu langkah demonstratif dalam menunjukkan kekayaan semakin menghambat
relasi sosial antara mereka yang kaya dengan kaum miskin.
Di
bagian lain, konflik juga turut dipicu relasi kultural yang tidak seimbang.
Konsep patron and client relationship yang berwujud dalam aneka bentuk semakin
mengokohkan adanya pembeda antara kalangan priyayi dengan rakyat jelata. Dalam
masyarakat Jawa, dikotomi keduanya menjadi sangat jelas dalam hubungan bendoro
dan buruh. Buruh diasosiasikan sebagai wong cilik yang bertugas mengabdi kepada
orang kaya. Relasi keduanya ditandai dengan pengabdian, kesetiaan, dan
kepatuhan tiada tara.
5.
Konflik
tawuran antar pelajar
Konflik ini terjadi karena :
1. Dendam
karena kekalahan dengan sekolah lain
Biasanya ini
terjadi
ketika adanya per tandingan bola
antar sekolah. Dimana tim sekolah yang satu kalah dengan sekolah
yang lain. Hal ini menyebabkan adanya
r asa kecewa dan celakanya
mereka ini biasanya melampiaskan rasa kekecewaan
nya dengan mengajak berkelahi tim sekolah
lain tersebut. Hal
ini tentunya merupakan bentuk ketidak
spor tifan pelajar dalam mengalami kekalahan.
2. Dendam akibat pemalakan dan
perampasan
Apabila seorang siswa dari suatu
sekolah menengah atas dipalak atau dirampas uang dan hartanya, dia akan melapor
kepada pentolan di sekolahnya. Kemudian pentolan itu akan mengumpulkan siswa
untuk menghampiri siswa dari sekolah musuh ditempat dimana biasanya mer eka
menunggu bis atau kendar aan pulang. Apabila jumlah siswa dari sekolah musuh
hanya sedikit, mereka akan balik memalak atau merampas siswa sekolah musuh
tersebut. Tetapi jika jumlah siswa sekolah musuh tersebut seimbang atau lebih
banyak, mereka akan melakukan kontak fisik.
3. Dendam akibat rasa iri akibat tidak dapat menjadi siswa di SMA yang
diinginkan.
Ketika seorang siswa mendaftar masuk
ke SMA negeri, tetapi ia malah tidak diterima di sekolah tersebut.
Dia akan masuk ke SMA lain bahkan ia bisa bersekolah di SMA swasta yang
kualitasnya lebih rendah. Disebabkan oleh dendam pada sekolah yang dulu tidak
menerimanya sebagai siswa, dia berusaha untuk membuat siswa yang bersekolah di
sekolah tersebut merasa tidak nyaman. Dia akan memprofokasikan dan mencari-cari
kesalahan sekolah tersebut
agar akhirnya terjadi kontak fisik.
6.
KONFLIK
KERJA
Konflik menurut Lewis A Coser adalah
perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan
status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi,
dimana pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk
memperoleh barang yang diinginkan melainkan juga memojokkan, merugikan atau
menghancurkan lawan mereka.
Ada konflik yang berlanjut menjadi
hal-hal yang merugikan seperti konflik pengupahan yang berlanjut dengan
pemogokan, konflik masalah keselamatan kerja yang berlanjut dengan demo. Ini
harus dicegah dan dihilangkan. Tetapi ada juga konflik yang berdampak positif
baik bagi organisasi maupun bagi individu, seperti persaingan yang berdampak
meningkatkan kualitas pekerjaan. Hal seperti ini harus dipelihara dan
dikembangkan.
v
Jenis
Konflik
a Konflik dalam individu
|
Konflik ini timbul apabila individu yang bersangkutan
merasabimbang terhadap p ekerjaannya, contoh: Seorang karyawan wanita akan
merasa bimbang apabila anaknya yang baru berumur 5 bulan sakit. Sebagai
karyawan, ia harus masuk kerja sedangkan sebagai seorang ibu, ia berkeinginan
untuk merawat bayinya.
|
b Konflik antara individu
|
Konflik jenis ini timbul karena adanya perbedaan
kepribadian, kebudayaan, kepentingan dll. Contoh: si A merasa sudah cukup
puas dengan hasil pekerjaannya, sehingga ia hanya duduk-duduk saja, sedangkan
si B merasa belum puas sehingga ia masih berusaha menyempurnakan pekerjaan
tersebut. Dalam hal ini terlihat adanya konflik antara si A dan si B terhadap
satu pekerjaan yang sama.
|
c Konflik antara individu dan kelompok
|
Contoh: kelompok mahasiswa telah
bersepakat untuk mengumpulkan tugasnya pada hari X. Ternyata ada salah
seorang anggota kelompok tersebut pada hari X belum menyelesaikan tugasnya,
sehingga ia dikecam oleh teman sekelompoknya karena tidak kompak. Sehingga
timbullah konflik antara individu dengan kelompok.
|
d Konflik antar kelompok
|
Konflik ini terjadi bila dalam
suatu organisasi terdapat kelompok-kelompok kerja. Contoh dalam suatu
Perguruan Tinggi, misalnya kelompok dosen dengan kelompok karyawan
administrasi terjadi konflik maka yang akan dirugikan biasanya mahasiswa.
|
e Konflik antar organisasi
|
Konflik antara organisasi biasanya
timbul dalam kompetisi ekonomi.
Contoh: dalam mengembangkan produk dimana harga menjadi murah, pelayanan terhadap konsumen berbeda dll. |
Ada
beberapa pendapat atau pandangan tentang konflik yang timbul dalam perusahaan,
yaitu:
1.
Pandangan
tradisional
2.
Pandangan
perilaku
3.
Pandangan
interaksi
v Sebab-Sebab Timbulnya Konflik
Berbagai
sumberdaya yang langka:
Seperti kita ketahui, bahwa sumber daya yang dimiliki oleh suatu organisasi
terbatas jumlahnya, dan masih harus dibagi-bagikan kepada unit-unit dalam
organisasi yang bersangkutan. Hal ini berakibat adanya kelompok-kelompok kerja
atau unit-unit yang memperoleh bagian kurang dari apa yang dibutuhkan, sehingga
sering timbulnya persaingan antara kelompok-kelompok dan akhirnya dapat
menimbulkan konflik kerja. Contoh keterbatasan dalam hal SDM, fasilitas kerja
dan lain sebagainya dapat menimbulkan konflik.
Perbedaan
dalam tujuan: Perbedaan
dalam tujuan antara unit dapat menimbulkan konflik kerja. Misalnya: Unit
penjualan menghendaki harga rendah agar dapat menarik pelanggan lebih banyak,
sedangkan unit produksi justru menginginkan sebaliknya, yaitu harga tinggi
untuk menutup biaya produksi. Contoh lain: Bagian pembelian menginginkan
pembelian barang-barang dalam jumlah yang besar untuk menekan harga satuan.
Sedang bagian keuangan menolak karena terlalu banyak modal yang tertanam pada
barang-barang (bahan baku). Dengan adanya perbedaan dalam tujuan atau pandangan
tersebut sering terjadi konflik sehingga dapat juga menimbulkan kesulitan untuk
menyetujui program operasional organisasi yang bersangkutan.
Saling
ketergantungan dalam mengerjakan pekerjaan: Ketergantungan kerja terjadi apabila ada dua atau lebih
unit yang dalam menyelesaikan tugasnya masing-masing bergantung satu sama lain.
Dalam keadaan ketergantungan tersebut dapat mengakibatkan konflik,
terlebih-lebih apabila mesing-masing pihak mendapat bagian kerja yang sama
tetapi penghargaannya berbeda dapat dengan mudah timbul konflik. Juga apabila
suatu unit tidak dapat memulai pekerjaannya sebelum unit lain menyelesaikan
tugasnya, maka akan memperbesar kemungkinan timbulnya konflik. Misalnya, bagian
produksi mungkin memprotes kegiatan bagian perbaikan dan pemeliharaan yang
bekerja lambat sehingga mengakibatkan kuota produksi tidak tercapai.
Perbedaan
dalam penilaian:
Adanya perbedaan dalam tujuan diantara para anggota pelbagai unit sering
disertai perbedaan sikap, penilaian serta pandangan, sehingga dapat menimbulkan
konflik. Misalnya: para anggota Bagian Mesin berdasarkan penilaian dan
pandangannya kemudian memutuskan tentang keadaan mutu barang-barang yang
diproduksi, desain yang mutahir, sifat tahan lama produk, tetapi para anggota
Bagian Produksi memberi penilaian yang berbeda yaitu: desain sederhana dengan
biaya produksi rendah. Penilaian yang bertentangan antara kedua bagian itu
dapat menimbulkan konflik.
Sebab-sebab
lainnya: Sebab-sebab lainnya yang mungkin
dapat menimbulkan konflik adalah gaya seseorang dalam bekerja, ketidakjelasan
organisasi dan juga masalah-masalah komunikasi. Konflik yang condong bersifat
individual dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya karena perbedaan
pendapat, salah paham, perasaan yang terlalu sensitif, salah satu pihak merasa
dirugikan kepentingannya, perbedaan dalam kebudayaan dan lain sebagainya. Dari
pandangan-pandangan terhadap konflik, sepintas dapat diketahui bahwa konflik
dapat bersifat positif dan negatif. Maka dari itu bagi pimpinan organisasi
perlu mengetahui adanya konflik seawal mungkin, sehingga dapat cepat bertindak,
mencegah, mengelola atau menghilangkannya. Akan tetapi untuk mengetahui konflik
seawal mungkin tidakkan mudah, karena tidak semua konflik diketahui
gejala-gejalanya, maka dari itu pimpinan harus aktif. Menurut Alex Nitisemito
dalam Managemen Personalia, ada beberapa cara yang dapat membantu pimpinan
mengetahui konflik seawal mungkin, diantaranya:
a.
Mengadakan
komunikasi timbal baik;
b.
Menggunakan
jasa pihak ketiga;
c.
Menggunakan
jasa pihak pengawas informal.
Mengadakan
komunikasi timbal balik:
Komunikasi timbal balik terutama dari bawah keatas, hal ini diharapkan agar
para bawahan mempunyai keberanian dalam mengemukakan segala sesuatu kepada
atasannya. Dari informasi-informasi para bawahan kemungkinan ada hal-hal yang
menjadi petunjuk adanya konflik. Dengan demikian pihak pimpinan dapat segera
melakukan tindakan-tindakan tertentu sesuai dengan tingkat ataupun besarnya
konflik.
Menggunakan
jasa pihak ketiga:
Pihak ketiga yang tidak berpihak kepada salah satu pihak yang sedang konflik,
pada umumnya dapat lebih mempermudah mengetahui terjadinya konflik. Sebagai
contoh: adanya jasa dari konsultan.
Menggunakan
jasa pihak pengawas informal:
Penempatan orang-orang untuk menjadi pengawas informal sangat membantu pimpinan
mengetahui adanya konflik seawal mungkin. Pengawas informal tersebut bertugas
selaku intel, harus melaporkan segala sesuatu yang dilihatnya hanya kepada
atasannya saja. Tugas selaku intel tersebut harus dirahasiakan agar usaha para pengawas
informal berhasil dengan baik, dan mereka harus bertindak dan bersikap wajar
agar teman-teman mereka tidak mengetahui. Namun untuk pihak pimpinan perlu juga
berhati-hati, karena ada kemungkinan bahwa apa yang dilaporkan pengawas
informal tidak sesuai dengan kenyataan. Pengawas informal hanya melaporkan
hal-hal yang menyenangkan saja, sedangkan hal-hal yang negatif justru tidak
dilaporkan atau kemungkinan lain mendramatisir laporan agar pengawas informal
mendapat pujian.
Ada juga
pendapat lain yang menyebutkan cara-cara yang dapat dipakai untuk
"menemukan" konflik atau sumbernya adalah sebagai berikut.
1.
Membuat
prosedur penyelesaian konflik;
2.
Observasi
langsung;
3.
Kotak
saran;
4.
Politik
pintu terbuka;
5.
Mengangkat
konsultan personalia;
6.
Mengangkat
ombudsman.
7.
KONFLIK DALAM
HUBUNGAN ANTAR PRIBADI
A. KONFLIK
DALAM HUBUNGAN ANTAR PRIBADI
Robbins (1996)
dalam “Organization Behavior” menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses
interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut
pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif
maupun pengaruh negatif. Sedang menurut Luthans (1981) konflik adalah kondisi
yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentengan.
Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik sendiri
diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan
permusuhan.
Perbedaan
pendapat tidak selalu berarti perbedaan keinginan. Oleh karena konflik
bersumber pada keinginan, maka perbedaan pendapat tidak selalu berarti konflik.
Persaingan sangat erat hubungannya denga konflik karena dalam persaingan
beberapa pihak menginginkan hal yang sama tetapi hanya satu yang mungkin
mendapatkannya. Persaingan tidak sama dengan konflik namun mudah menjurus
kearah konflik, terutama bila ada persaingan yang menggunakan cara-cara yang
bertentangan dengan aturan yang disepakati. Permusuhan bukanlah konflik karena
orang yang terlibat konflik bisa saja tidak memiliki rasa permusuhan.
Sebaliknya orang yang saling bermusuhan bisa saja tidak berada dalam keadaan konflik.
Konflik sendiri tidak selalu harus dihindari karena tidak selalu negatif
akibatnya. Berbagai konflik yang ringan dan dapat dikendalikan (dikenal dan
ditanggulangi) dapat berakibat positif bagi mereka yang terlibat maupun bagi
kelompok.
Orang sering
menganggap konflik bersumber dari tindakan dan inti persoalan , namun
sebenarnya konflik sering disebabkan oleh komunikasi yang buruk.Komunikasi
dapat menjadi masalah besar.Banyak persoalan dapat diselesaikan jika komunikasi
berjalan lancar. Komunikasi yang buruk memperparah persoalan karena setiap
orang yang terlibat dalam konflik secara tidak sadar mereka – reka motivasi
buruk pihak lain.Perbedaan antara pesan yang disampaikan dan pesan yang
diterima akan menimbulkan masalah komunikasi ketika konflik berlangsung. Setiap
hubungan antar pribadi mengandung unsur-unsur konflik, pertentangan pendapat
atau perbedaan kepentingan. Yang dimaksud konflik adalah situasi dimana
tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat atau mengganggu
tindakan pihak lain ( Johnson,1981 ).
Kendati unsur konflik selalu terdapat dalam setiap bentuk hubungan antar pribadi, pada umumnya individu memandang konflik sebagai keadaan yang buruk dan harus dihindarkan. Konflik dipandang sebagai faktor yang akan merusak hubungan, maka harus dicegah. Namun, kini banyak orang mulai sadar bahwa rusaknya suatu hubungan lebih disebabkan oleh kegagalan memecahkan konflik secara konstruktif, adil dan memuaskan kedua belah pihak bukan oleh munculnya konflik itu sendiri. Pengelolaan konflik secara konstruktif,konflik dapat memberikan manfaat positif bagi diri kita sendiri maupun bagi hubungan kita dengan orang lain. Beberapa contoh manfaat dari konflik adalah sebagai berikut ( Johnson, 1981 ) :
Kendati unsur konflik selalu terdapat dalam setiap bentuk hubungan antar pribadi, pada umumnya individu memandang konflik sebagai keadaan yang buruk dan harus dihindarkan. Konflik dipandang sebagai faktor yang akan merusak hubungan, maka harus dicegah. Namun, kini banyak orang mulai sadar bahwa rusaknya suatu hubungan lebih disebabkan oleh kegagalan memecahkan konflik secara konstruktif, adil dan memuaskan kedua belah pihak bukan oleh munculnya konflik itu sendiri. Pengelolaan konflik secara konstruktif,konflik dapat memberikan manfaat positif bagi diri kita sendiri maupun bagi hubungan kita dengan orang lain. Beberapa contoh manfaat dari konflik adalah sebagai berikut ( Johnson, 1981 ) :
§
Konflik dapat membuat kita sadar bahwa ada masalah
yang perlu diselesaikan dalam hubungan kita dengan orang lain.
§
Konflik dapat memunculkan kesadaran dan
memotivasi kita untuk melakukan berbagai perubahan dalam diri kita.
§
Konflik dapat memotivasi kita untuk segera
memecahkan msalah yang selama ini tidak kita sadari dengan jelas.
§
Konflik juga bisa membuat kehidupan menjadi
lebih menarik.
§
Munculnya konflik dalam ragam pendapat bisa
membantu kita kearah pencapaian keputusan bersama yang lebih matang dan
qualified.
§
Konflik juga dapat menghilangkan
ketegangan-ketegangan kecil yang sering terjadi dan muncul dalam hubungan kita
dengan orang lain.
§
Konflik juga dapat membuat diri kita sadar
tentang dan bagaimana kita sebenarnya.
§
Konflik bahkan dapat menjadi sumber hiburan.
§
Konflik dapat mengakrabkan dan memperluas
hubungan
8.
KONFLIK DENGAN ANAK SENDIRI
Jika
Anda berada dalam situasi satu rumah dengan keluarga lainnya / serumah banyak
keluarga, Anda mungkin mendapati anak-anak Anda masuk dalam konflik. Sadarilah
bahwa anak-anak Anda akan melalui banyak perubahan dan penyesuaian belajar
untuk menerima orang baru sebagai keluarga. Mereka juga mungkin berhadapan
dengan beban emosional dari perceraian atau kematian orang tua. Memiliki
harapan yang realistis tentang bagaimana keluarga Anda akan hidup dengan keluarga
lain dalam satu rumah. Ini akan memberi waktu bagi anak-anak untuk menerima
satu sama lain. Model resolusi konflik merupakan hal yang baik dan timbulkan
kesadaran bahwa perlu waktu untuk membangun kepercayaan dan kasih sayang yang
dibutuhkan untuk hubungan yang kuat diantara keluarga tersebut, ini untuk
meminimalkan konflik yang mungkin bisa saja terjadi antara anda keluarga
se-rumah dan anak Anda.
9. CONTOH KONFLIK SUAMI ISTRI
sepasang suami dan
istri cekcok hanya karena kopi si suami kurang gula, sehingga ia marah besar
dan istrinya pun tersinggung. (Masak sih, hanya perkara gula yang kurang bisa
menjadi sebuah konflik? Aneh kan?) Bila itu persoalannya, seharusnya cukup
menambahkan gula ke dalam kopi suaminya, selesai persoalan! Namun, malah
berbuntut panjang dan mengarah kepada percekcokan, bahkan (maaf) sampai
kejar-kejaran di dalam rumah hingga tiba pada persoalan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT), yang tentu saja dapat dikenai sanksi, karena undang-undangnya
sudah ada di negeri ini. Kalau sudah begini, urusannya lebih repot lagi kan?
Suami dan istri akan berurusan dengan penegak hukum dengan segala
tetek-bengeknya yang tentu tidak mudah dan murah. Buntutnya semakin panjang,
hanya karena sesendok gula? Ini masih satu contoh.
Tentu, banyak hal sepele lainnya terjadi di dalam rumah tangga maupun di sekitar lingkungan kita tinggal. Saya pernah mencoba mendamaikan sepasang suami dan istri, hanya karena sebuah jarum. Kedengarannya pasti lebih sepele lagi dibandingkan sesendok gula, seperti pada ilustrasi di atas. Sepele memang, tapi buntut dari itu si suami nyaris saja melakukan KDRT terhadap istrinya. Cerita singkatnya begini, ia meminta tolong istrinya agar diambilkan jarum atau sejenisnya, karena kakinya tertusuk duri. Si istri sedang memasak dan tidak mendengar permintaan suaminya dengan baik. Keributan pun tak terelakkan. Saat itu saya kebetulan lewat di depan rumahnya dengan berjalan kaki. Mendengar suara gaduh saya mencoba singgah. Saya kenal pasangan ini sebagai tetangga. Saat mencoba melerai itulah saya tahu duduk persoalannya. Intinya, tak satupun mau mengalah. Keduanya saling mempersalahkan. Si suami menyalahkan istrinya, karena tidak segera mengambilkan jarum, sedangkan si istri menyalahkan suaminya, karena ia sedang menggoreng ikan dan kurang mendengar dengan jelas suaminya berteriak minta diambilkan jarum. Sekali lagi, saling menyalahkan. Inilah kunci utama mengapa konflik suami dan istri tidak pernah selesai dengan baik, bahkan semakin berkepanjangan dan awet. Meskipun reda, itu semata-mata lebih karena didiamkan, tapi tanpa sadar hal itu semakin terpendam dan bertumpuk. Ia tinggal menunggu waktu untuk meledak. Saya memang bukan seorang suami, yang bebas dari konflik bersama istri. Bahkan, saya bisa mengatakan, bahwa tiada hari berlalu tanpa sedikitnya sebuah konflik. Pemicunya beragam, meski kebanyakan hal-hal sepele. Bisa soal ketika saya berbicara hal A, istri saya malah berbicara hal B. Masing-masing ingin didengarkan. Bisa juga persoalan selera. Bahkan, hal paling konyol, kami juga pernah konflik karena pesan singkat saya tidak dibalas, padahal memang layanan jaringan saat itu sedang bermasalah. That’s stupid..!!!
Untungnya kami menyepakati satu hal bersama, bahwa konflik bukan sesuatu yang harus dihindari. Konflik itu juga bagian dari komunikasi, secara istimewa dalam hal sikap dan perilaku. Konflik tidak bisa dicegah. Ia bisa datang kapan dan dimana saja. Konflik itu harus diselesaikan. Ini dia. Titik. Penyelesaian konflik bisa menggunakan berbagai cara. Bisa secara berdua, bahkan melibatkan pihak ketiga sebagai pelerai. Sebelum lebih dalam berpikir soal upaya penyelesaian konflik itu, saya berpikir itu semua diawali dari satu hal mendasar, yakni saat konflik hadir di tengah-tengah pasangan, yakni suami dan istri harus sepakat dalam satu hal ini, bahwa dalam upaya penyelesaian konflik, pondasi utamanya bukan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Saya yakin, bila hal mendasar ini dipahami dan disepakati, suami dan istri akan mampu menyelesaikan konflik secara tuntas. Konflik tidak akan bertumpuk, apalagi berkepanjangan. Pencarian benar dan salah saat badai konflik melanda hubungan suami dan istri hanya akan memperkeruh suasana, bahkan maaf.. tidak menutup kemungkinan untuk melakukan hal-hal yang sering terdengar, yakni perceraian. Mari kita jadikan konflik sebagai sebuah jalan pendewasaan diri masing-masing. Tidak perlu terlarut dalam konflik tersebut, yang berbuntut pada sikap saling tuding. Sebaliknya, penyelesaian konflik tanpa melibatkan unsur siapa yang benar dan siapa yang salah akan dapat memberikan titik cerah dan evaluasi bagi keharmonisan hubungan yang sudah terbina.
Tentu, banyak hal sepele lainnya terjadi di dalam rumah tangga maupun di sekitar lingkungan kita tinggal. Saya pernah mencoba mendamaikan sepasang suami dan istri, hanya karena sebuah jarum. Kedengarannya pasti lebih sepele lagi dibandingkan sesendok gula, seperti pada ilustrasi di atas. Sepele memang, tapi buntut dari itu si suami nyaris saja melakukan KDRT terhadap istrinya. Cerita singkatnya begini, ia meminta tolong istrinya agar diambilkan jarum atau sejenisnya, karena kakinya tertusuk duri. Si istri sedang memasak dan tidak mendengar permintaan suaminya dengan baik. Keributan pun tak terelakkan. Saat itu saya kebetulan lewat di depan rumahnya dengan berjalan kaki. Mendengar suara gaduh saya mencoba singgah. Saya kenal pasangan ini sebagai tetangga. Saat mencoba melerai itulah saya tahu duduk persoalannya. Intinya, tak satupun mau mengalah. Keduanya saling mempersalahkan. Si suami menyalahkan istrinya, karena tidak segera mengambilkan jarum, sedangkan si istri menyalahkan suaminya, karena ia sedang menggoreng ikan dan kurang mendengar dengan jelas suaminya berteriak minta diambilkan jarum. Sekali lagi, saling menyalahkan. Inilah kunci utama mengapa konflik suami dan istri tidak pernah selesai dengan baik, bahkan semakin berkepanjangan dan awet. Meskipun reda, itu semata-mata lebih karena didiamkan, tapi tanpa sadar hal itu semakin terpendam dan bertumpuk. Ia tinggal menunggu waktu untuk meledak. Saya memang bukan seorang suami, yang bebas dari konflik bersama istri. Bahkan, saya bisa mengatakan, bahwa tiada hari berlalu tanpa sedikitnya sebuah konflik. Pemicunya beragam, meski kebanyakan hal-hal sepele. Bisa soal ketika saya berbicara hal A, istri saya malah berbicara hal B. Masing-masing ingin didengarkan. Bisa juga persoalan selera. Bahkan, hal paling konyol, kami juga pernah konflik karena pesan singkat saya tidak dibalas, padahal memang layanan jaringan saat itu sedang bermasalah. That’s stupid..!!!
Untungnya kami menyepakati satu hal bersama, bahwa konflik bukan sesuatu yang harus dihindari. Konflik itu juga bagian dari komunikasi, secara istimewa dalam hal sikap dan perilaku. Konflik tidak bisa dicegah. Ia bisa datang kapan dan dimana saja. Konflik itu harus diselesaikan. Ini dia. Titik. Penyelesaian konflik bisa menggunakan berbagai cara. Bisa secara berdua, bahkan melibatkan pihak ketiga sebagai pelerai. Sebelum lebih dalam berpikir soal upaya penyelesaian konflik itu, saya berpikir itu semua diawali dari satu hal mendasar, yakni saat konflik hadir di tengah-tengah pasangan, yakni suami dan istri harus sepakat dalam satu hal ini, bahwa dalam upaya penyelesaian konflik, pondasi utamanya bukan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Saya yakin, bila hal mendasar ini dipahami dan disepakati, suami dan istri akan mampu menyelesaikan konflik secara tuntas. Konflik tidak akan bertumpuk, apalagi berkepanjangan. Pencarian benar dan salah saat badai konflik melanda hubungan suami dan istri hanya akan memperkeruh suasana, bahkan maaf.. tidak menutup kemungkinan untuk melakukan hal-hal yang sering terdengar, yakni perceraian. Mari kita jadikan konflik sebagai sebuah jalan pendewasaan diri masing-masing. Tidak perlu terlarut dalam konflik tersebut, yang berbuntut pada sikap saling tuding. Sebaliknya, penyelesaian konflik tanpa melibatkan unsur siapa yang benar dan siapa yang salah akan dapat memberikan titik cerah dan evaluasi bagi keharmonisan hubungan yang sudah terbina.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.tabloidbintang.com/gaya-hidup/psikologi/15964-konflik-dengan-orangtua-rentan-terjadi-apa-yang-harus-dilakukan.html
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mana4439/modul%206/modul%206.htm
http://id.shvoong.com/lifestyle/family-and-relations/2143493-jenis-jenis-konflik-di-dunia/#ixzz2DuEicgi2
http://id.shvoong.com/lifestyle/family-and-relations/2143493-jenis-jenis-konflik-di-dunia/#ixzz2DuEicgi2
0 komentar:
Posting Komentar