Minggu, 02 Desember 2012

konflik




Percayakah, konflik terbesar kita alami dengan orangtua? Sejak kanak-kanak hingga dewasa, seorang anak hampir pasti mengalami pertentangan dengan orangtua.
Dalam permasalahan kehidupan, konflik yang cukup besar kita rasakan hambatannya adalah yang berkaitan dengan konflik spiritual (norma dan aturan agama, juga hal-hal prinsipiel). Di dalamnya yang termasuk paling berat, ketika kita berkonflik dengan orangtua,” ujar Anggia Chrisanti Wiranto, konselor dan terapis di biro psikologi Westaria.Tidak perlu tentang masalah serius, hal-hal menyenangkan pun kerap menjadi berat ketika sudah menyangkut orangtua.
Ingat momen Lebaran kemarin? Tentang di mana akan berlebaran pun kerap menimbulkan konflik.“Konflik adalah ketika ada lebih dari satu keinginan, kebutuhan pada saat bersamaan.
inginnya kita begini, tapi orangtua maunya begitu. Misal, inginnya berlebaran di rumah, tapi orangtua menginginkan kita pulang kampung. Karena terjadinya di saat yang bersamaan, pasti salah satu (keinginan) harus tertunda atau terabaikan. Itu baru masalah sepele, apalagi jika konflik yang terjadi itu memang cukup penting. Misalnya tentang bagaimana kita sebagai anak memilih jalan hidup, tentang apa yang kita suka dan tidak suka lakukan, dan apa yang menjadi tujuan kita.
Bisa bermacam-macam, contoh sederhana sekaligus paling sering terjadi. Yakni sesuatu yang berkaitan dengan jodoh dan pekerjaan.“Orangtua, tentu saja pada prinsipnya, hanya ingin yang terbaik bagi anak. Dan menurut hemat mereka (sebagai orang yang lebih banyak pengalaman hidup), pilihan mereka atau pola pikir mereka jelas jauh lebih baik, karena didasari pengalaman-pengalaman dan pertimbangan-pertimbangan yang menurut mereka lebih baik,” papar Anggia.Yang kemudian menimbulkan konflik, ketika keinginan anak berbeda dengan keinginan orangtua.”
Sebetulnya, selama orangtua bisa menempatkan dirinya sebagai pembimbing, dengan melihat kapasitas anak (dengan usianya, dengan tanggung jawabnya, dengan apa yang disukainya, dan apa yang diharapkannya), sah-sah saja untuk memberi masukan dan arahan.
Anak pun, melihat kapasitas orangtua sebagai pengayom, yang jelas lebih banyak pengalaman hidup, seharusnya meyakini apa yang mereka harapkan adalah demi kebaikan kita. Alangkah lebih baik jika berusaha mendengarkan dan memilih menelaah, apa yang menjadi perkataan orangtua memang baik.
Tentu konflik terjadi jika beberapa hal di atas diabaikan. Orangtua memukul rata anak yang satu dengan yang lainnya. Kebanyakan melakukan itu berdasarkan pengalaman masa lalu. Orangtua tidak mau mendengar dan belajar memahami anak. Tentu intervensinya menjadi subjektif. Bila terus demikian, dapat dipastikan terjadi konflik nyata. Atau sebaliknya. Ketika anak bersikeras merasa sudah pintar, merasa sudah bisa cari uang sendiri (ini alasan yang umum dikemukakan), merasa paling benar, maka pasti terjadi konflik nyata.Oleh karena itu, pahami konflik dalam hidup pasti ada. Cukup berat bobotnya jika berkaitan dengan orangtua. Namun, selama kita bisa mencoba saling memahami, konflik bisa diselesaikan dengan baik.
Tentu tujuannya adalah kita sebagai anak dapat menentukan pilihan hidup dengan benar. Dan mampu mempertanggungjawabkan segala konsekunsinya. Selebihnya, semoga harapan orangtua adalah sama dengan pilihan kita. Baik sejak awal sama atau dalam prosesnya kemudian menjadi sama. Agar orangtua merestui jalan hidup yang kita pilih,

2.      KONFLIK DALAM KELUARGA







Managemen konflik adalah kemampuan individu untuk mengelola konflik-konflik yang dialaminya dengan cara yang tepat, sehingga tidak menimbulkan komplikasi negatif pada kesehatan jiwanya maupun keharmonisan keluarga. Seorang istri mengeluh bahwa dirinya merasa tidak cocok dengan suaminya justru setelah menikah selama satu tahun. Selalu saja ada hal yang menjadi vahan pertengkaran suami-istri, sampai istri tersebut timbul keinginan untuk bercerai. Konflik demi konflik selalu terjadi dalam rumah tangganya yang membuatnya stres.
Kasus tersebut merupakan suatu ilustrasi bahwa konflik selalu bisa muncul dalam rumah tangga, dan bila tidak diatasi akan dapat menimbulkan gangguan psikologis baik pada pihak istri maupun suami.
Dalam suatu keluarga biasanya terdiri dari suami, isteri, anak, namun ada juga keluarga yang belum mandiri sehingga dalam keluarga tersebut masi hada orang tua dari suami atau pihak istri.
Bisa terjadi konflik antara suami –isteri, atau orang tua dengan anak, atau mertua dengan anak-cucu.
Konflik selalu terjadi dalam keluarga dan tidak ada penyelesaiannya yang baik maka akan berdampak terhadap keharmonisan keluarga itu sendiri yang akhirnya dapat menimbulkan gangguan-gangguan psikologis pada individu-individu yang terlibat didalamnya. Gangguan psikologis yang dialami bisa timbul mulai dari yang ringan sampai yang berat.
Konflik suami-istri biasanya disebabkan oleh kurangnya rasa” saling” antara keduanya,:
  1. Kurangnya saling pengertian terhadap kelebihan dan kekurangan masing-masing
  2. Kurangnya saling percaya
  3. Kurangnya saling terbuka
  4. Kurang komunikasi yang efektif
Banyak pasangan suami-istri yang menjalani perkawinan lebih dari 20 tahun dan tetep harmonis mengungkapkan rahasia keharmonisan keluarganya bahwa kuncinya adalah saling percaya dan saling pengertian serta adanya komunikasi yang terbuka dan efektif. Para ahli komunikasi menyatakan bahwa komunikator yang baik adalah orang yang dapat menimbulkan rasa senang bagi orang yang diaajak berkomunikasi. Banyak Pasangan yang baru menikah pada tahun-tahun pertama mengalami apa yang disebut dengan “wedding blues” yaitu stress pasca menikah. 
Hal tersebut muncul karena biasanya masing-masing pihak kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan pasangan. “ Waktu belum jadi suami, mas Ali orangnya baik, tapi setelah jadi suami wah ternyata orangnya jorok, suka marah, seneng perintah…capek deh” demikian antara lain keluh kesah seorang isteri yang mengalami “ wedding blues”.
Bagaimana strategi mengatasi konflik yang muncul dalam keluarga?


Tahapan managemen Konflik sbb:
  • Mengerti terhadap pekerjaan pasangan masing-masing; berusaha membuat suami/istri merasa senang; saling menyatakan perasaan secara terbuka; menghargai pendapat/ide pasangan; menggunakan waktu luang bersama; saling memuaskan dalam kehidupan seksual.
  • Adanya komunikasi yang efektif dan dapat menjadi pendengar yang baim bagi pasangannya.
  • Jika ada masalah, komunikasikan dengan pasangan agar tidak berlarut-larut.
  • Menyeimbangkan antara perasaan dan pikiran ( rasio ). Tidak berpokir yang aneh-aneh kalau sesuatu hal belum terjadi. Hadapi masalah dengan wajar
  • Mencari alternatif pemecahan masalah berdasarkan sumber masalahnya apa. Bila tidak dapat melakukan sendiri bisa mencari bantuan pihak ketiga yang kompeten, konsultasi pada psikolog atau konselor perkawinan.
  • Memilih cara yang terbaik ( salah satu )
  • Melaksanakan cara yang sudah dipilih dari kompromi diatas
  • Evaluasi penyeleseaian konflik. Hasilnya bagaimana, lebih harmonis atau tidak
3.      CONTOH KONFLIK DENGAN ORANG LAIN



Konflik adalah suatu proses sosial antara dua orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya. Konflik adalah salah satu pemicu perpecahan,ada beberapa pemicu konflik,salah satu nya adalah perbedaan latar belakang budaya, Perbedaan latar belakang budaya menyebabkan konflik dua orang atau bisa jg antar kelompok. Perbedaan pemikiran dari suatu kelompok yang berbeda bisa memunculkan konflik. Sebenarnya konflik adalah hal yang wajar dalam sebuah kelompok atau organisasi. Tapi konflik bisa saja tidak terjadi bila seseorang atau kelompok bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan nya dan tidak membawa-bawa latar belakang kebudayaan. Jika itu bisa dilaksanakan kemungkinan akan terjadinya konflik akan lebih kecil dari yang biasa nya Maka dari itu dalam sebuah organisasi atau pun kelompok janganlah membawa-bawa kebudayaan daerah masing-masing, marilah kita bersama,bersatu dalam suatu kesatuan.

4.      KONFLIK ANTAR-ETNIK DAN AGAMA


 A.  Klaim Kebenaran
Asal mula konflik agama pada umumnya bersumber pada adanya klaim kebenaran. Terdapat dua kepentingan yang berkaitan dengan klaim ini. Pertama, klaim kebenaran sebagai alat peneguh keyakinan dan landasan normatif peribadatan. Kedua, menjadi alat pembenar (justifikasi) bagi perjuangan politik aliran. Celakanya, kepentingan kedua menjadi sangat dominan dalam kehidupan pemeluk agama di Indonesia.
Baik dalam dimensi syariat maupun politik, klaim kebenaran timbul sebagai reaksi atas kegelisahan  penganut agama dalam menghadapi pilihan. Di sinilah muncul ruang untuk menentukan pilihan berdasarkan pijakan berpikir masing-masing. Dalam perkembangannya, pilihan-pilihan tersebut diterjemahkan berdasarkan interpretasi masing-masing. Saling klaim kebenaran pada akhirnya memicu disharmoni dalam relasi sosial di masyarakat. Kaidah hukum universal berupa sunnah al-Allah menjadi samar ketika berada dalam situasi saling klaim kebenaran.
Di Indonesia, perbedaan interpretasi mengakibatkan polarisasi antarkelompok agama. Polarisasi ini melahirkan dua arus utama, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Perbedaan interpretasi dalam ranah fikih bertranformasi ke dalam politik, bahkan dalam politik praktis berupa berdirinya partai politik yang berafiliasi –atau setidak-tidaknya– memiliki basis massa dari kalangan kelompok agama. Fenomena serupa juga terjadi dalam agama Kristen yang kemudian melahirkan dua agama baru: Katolik dan Protestan.
 B. Teologi
Proses pemahaman agama melalui jalan teologis telah melahirkan relasi sosial yang kaku di masyarakat. Agama telah melahirkan stratifikasi sosial secara alamiah berupa pemegang otoritas teologis di satu sisi dan pengikut di sisi lain. Para elite, dalam agama mana pun, berperan sebagai penafisir tunggal terhadap ayat-ayat Tuhan maupun fenomena. Sementara itu, kelompok akar rumput berkewajiban mengikuti fatwa kaum elite. Dari sinilah muncul kepatuhan atau bahkan fanatisme dalam relasi vertikal.
Sialnya, para elite yang berperan sebagai teolog tidak jarang memberikan peluang untuk berkonflik. Interpretasi antarteolog diyakini oleh masing-masing pengikut sebagai kebenaran mutlak. Lahirlah kelompok-kelompok eksklusif dalam agama tertentu. Akibatnya, umat mudah terombang-ambing di antara polemik kebenaran yang disuguhkan para teolog. Akar rumput seakan kehilangan haknya untuk menentukan kebenaran sendiri. Pintu ijtihad tertutup bagi kalangan non-elite. Pada akhirnya, teologi menggiring para penganutnya ke dalam sangkar-sangkar eksklusivitas.
Mari kita bandingkan dengan agama-agama “bumi” yang relatif berbeda dengan agama “langit” seperti Islam, Kristen, dan Yahudi. Agama-agama langit seperti animisme, dinamisme, Hindu, Budha, dan lain-lain lebih memberikan ruang bagi kemanusiaan. Agama produk alam fana ini lebih mencurahkan pada fungsi pelayanan bagi kehidupan daripada menambah jumlah pengikut. Agama bumi dunia ini lebih mengedepankan solusi keagamaan. Dibanding agama “langit”, agama “bumi” lebih universal dan inklusif. Karena itu, sejatinya spirit inklusivisme juga hidup dalam agama-agama “langit”.
Paradigma inklusif berpandangan perlu adanya pembedaan antara dakwah (kehadiran penyelamatan) dan pengakuan terhadap agama lain. Paradigma ini mencoba memadukan antara visi teologis dan penggunaan akal dalam mengarungi keberagaman. Akal menjadi pemilah benang kusut klaim-klaim kebenaran. Sementara  hati berfungsi sebagai kontrol terhadap hal-hal intuitif. Pandangan pluralis ini juga berpandangan bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri. Dengan demikian, klaim kebenaran tunggal harus ditolak.
Perlu kiranya ditegaskan bahwa teologi Islam berakar dari satu kata kunci: salamah. Derivasi akar kata itu mengandung maksud bahwa Islam mendeklarasikan diri sebagai agama yang mengemban kesadaran moral dan tugas untuk duduk bersama rendah dan berdiri sama tinggi dengan agama lain. Dengan begitu, teologi Islam adalah membebaskan dan menyejahterakan umat manusia di permukaan bumi. Sudah seharusnya umat Islam lebih toleran, mengakui dan melindungi agama lain dan tentu saja terhadap pemeluknya sendiri.
Teologi pada dasarnya memberi penekanan bahwa setiap manusia mempunyai nilai-nilai universal yang harus dihormati. Namun demikian, teologi pluralisme bukan berarti penyeragaman keanekaragaman kebudayaan. Faham ini menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan yang muncul di masyarakat. Titik temu teologi pluralis bagi kelompok etnik dan agama bukan pada bentuk peleburan, melainkan pada sikap toleran terhadap keragaman itu sendiri.
 C.  Peran Agama
Tak dapat dipungiri bahwa agama berperan besar dalam sejumlah konflik di muka bumi. Wajar bila kemudian AN Wilson menyebut bahwa agama dapat dianggap sebagai penyebab terjadinya berbagai konflik sosial. Agama telah mendorong seseorang untuk mengagungkan perasaan dan pendapat sendiri atas pendapat orang lain. Pemelik agama cenderung mengklaim sebagai pemilik kebenaran. Intinya, dalam suasana ekstrem dan fanatik, agama bisa membawa manusia terjebak pada situasi saling menganiaya antarsesama.

Deretan konflik seakan menunjukkan bahwa agama memiliki peran ganda. Agama sebagai jalan menuju kemuliaan sekaligus membawa pada jalan peperangan dan berujung pada kehancuran. Hidup berselimut agama ibarat memeluk dua mata pisau yag sama-sama tajam, berlawanan, dan berusaha saling menghujam. Dalam perspektif lebih luas, agama dianggap sebagai penentu jalannya sejarah. Samuel Huntington dengan idenya tentang benturan peradaban (clash of civilization) menganggap bahwa masa depan akan sangat ditentukan oleh benturan antara Barat dan Islam, ideologi dan dan kekuasaan.
Realitas sosial menunjukkan bahwa agama kerap mendorong para pengikutnya untuk membenarkan segala bentuk konflik terhadap agama lain. Konflik besar bisa ditimbulkan agama manakala doktrin mengeras, yakni mengkristalnya perasaan dan sikap secara eksklusif pada diri pemeluknya. Sikap ini mengondisikan para pemeluk agama untuk mengklaim bahwa dirinya yang paling benar. Keyakinan inilah yang kemudian menjadi pemicu konflik.
Konflik sosial juga tidak lepas dari peran agama yang cenderung menerapkan standar ganda dalam melihat agama lain. Para pemeluk agama kerap menganggap agamanya merupakan ukuran tertinggi dari sebuah kebenaran. Hal ini kemudian dikontraskan dengan melihat agama lain memiliki kekurangan atau tidak ideal. Standar ganda itu juga digunakan sebagai alasan pembenar untuk segala bentuk tindak kekerasan bernuansa agama.
 D.  Rasialisme
Rasialisme atau pertentangan antarras di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang dimulai pada abad ke-19. Kebijakan adu domba (devide et impera) ini terus dikembangkan hingga akhir masa kekuasaannya pada pertengahan abad ke-20. Fakta konkret politik adu domba yang dilakukan Belanda adalah pemecahan kerajaan Mataram di Pulau Jawa. Belanda memanfaatkan friksi di linkungan kerajaan untuk kepentingan politik kolonial. Fokus utamanya adalah menguasai dan mengeksploitasi aset-aset ekonomi di wilayah kerajaan sekaligus menekan kekuatan politik pribumi.
Penetrasi kolonial diawali dengan memindahkan keraton Kartasura ke Solo dan menyerahkan pesisir Jawa bagian utara kepada VOC setelah sebelumnya mendompleng konflik Pakubowono II pada 1743. Pada tahun 1755, Belanda memecah Mataram menjadi empat kerajaan melalui Perjanjian Gianti. Sistem politik kolonial terus berlanjut dengan menggerogoti wilayah Vorstenlanden atau tanah-tanah kerajaan, istilah untuk membedakan dengan wilayah lain di Jawa. Pembagian wilayah dimaksudkan untuk mencegah konsentrasi kekuatan orang-orang Jawa di bawah kendali Mataram.
Tak hanya Mataram, politik rasialisme juga dilakukan dengan cara membenturkan warga Tionghoa dengan Jawa. Konflik juga dibangun melalui kebijakan tanam wajib atau cultuur stelsel dan pendirian Lembaga Bahasa Jawa (Instituut Voor het Javaansche Taal) yang di kemudian hari berkembang menjadi pusat studi Javanologi. Lembaga ini membuka peluang bagi trah Mataram untuk mengenyam pendidikan Barat di Belanda. Sebaliknya, timbul kalangan elite baru non-Mataram yang juga menaruh minat pada kesusasteraan. Gesekan antara priyayi baru dengan bangsawan ini terus dipelihara oleh Belanda.
Politik kolonial terus bergulir. Setelah dikotomi bangsawan dan nonbangsawan, Belanda juga mengacak-acak perkumpulan Syarikat Islam (SI). Caranya dengan menghasut sejumlah kalangan untuk berkonfrontasi dengan SI yang dianggap merongrong kepentingan kolonial. Bentuk lain adalah dengan membuka konflik antara penduduk asli dengan pendatang.
 E.  Radikalisme Politik
Radikalisme politik tampaknya sudah menjadi keniscayaan di Indonesia. Memori kelam masa kolonial menjadi acuan untuk menjalankan praktik politik pada masa kini. Para politisi terpuruk pada pola kekuasaan tiran, kejam, dan otoriter. Pada praktiknya, kekerasan akibat otoritarianisme menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Parahnya, kekuasaan telah menjadi obsesi banyak orang di Indonesia.
Kekerasan politik berwujud dalam beragam bentuk. Salah satu bentuk halus berupa pemasungan hak-hak politik rakyat. Sementara pers sebagai salah satu pilar demokrasi sengaja dibungkam sehingga kehilangan fungsinya sebagai alat kontrol. Inilah yang selalu menggiring rakyat ke arah penderitaan. Pada saat yang sama, otoritarianisme memberikan peluang kepada penguasa untuk menyelewengkan kekuasaan.
Kekerawsan politik tampaknya belum akan berakhir. Terlebih ketika kekerasan tak hanya dilakukan para elite, melainkan turut dipraktikkan masyarakat. Radikalisme akar rumput makin menajam ketika mereka sadar bahwa aspirasi politik mereka disumbat. Mereka kecewa bahwa selama ini partisipasi politik mereka telah dibelokkan. Mereka hanya menjadi objek politik, dan hukum telah menjadi alat untuk menindas rakyat.
F.   Kesenjangan Ekonomi
Ekonomi menjadi salah satu faktor determinan dalam sejarah kekerasan di Indonesia. Kesenjangan antarkelompok menjadi titik rawan munculnya konflik etnik maupun agama. Secara empirik, proses terjadinya kesenjangan ini dipicu sulitnya mendapatkan akses terhadap sumber-sumber ekonomi dan sistem distribusi tidak seimbang. Kesenjangan semakin melebar akibat sulitnya etnik tertentu mengakses lingkaran bisnis jaringan etnik lainnya. Akibatnya, struktur kepemilikan ekonomi menjadi terpilah secara tajam.
Di bagian lain, asosiasi-asosiasi sosial tumbuh terkotak-kotak di masyarakat. Kelompok the have berhimpun dalam wadah-wadah eksklusif lengkap dengan simbol-simbol kekayaannya. Sedangkan kelompok miskin bergerombol dalam berbagai paguyuban lengkap dengan simbol-simbol penderitaannya. Sensitivitas dalam solidaritas etnik dan perasaan senasib kemudian menjadi begitu menakutkan bagi sejumlah kalangan. Yang turut memperburuk adalah sulitnya kelompok miskin memahami bahwa kaya-miskin adalah persoalan etos kerja.
 G.  Arogansi Budaya
Kebudayaan sesungguhnya merupakan hasil dari dan tumbuh dalam suasana konflik. Van Peursen berpendapat dibangun atas dasar tarik-menarik antara transendensi dan imanensi. Yakni, lingkaran fakta yang mengurung manusia dalam keniscayaan alam dan keterbukaan yang dicapai oleh penilaian kritis. Produk dari tarik-menarik itu berupa piranti teknologis untuk memenuhi dan memudahkan kehidupan.
Konflik kebudayaan di Indonesia dikenal dengan “polemik kebudayaan” yang memuat adanya perbedaan (atau pertentangan) di dalamnya. Polemik merupakan perdebatan tentang pilihan desain kebudayaan yang hendak diterapkan di suatu negara yang baru lahir. Indonesia pun berada di simpang jalan antara Kebudayaan Barat dan Kebudayaan Timur. Peristiwa lainnya berupa perdebatan antara penganut humanisme universal dan realisme sosialis. Polemik ini menjadi sarana penegas posisi antarkomunitas.
Aspek lain yang mendukung mengerasnya konflik kebudayaan terekspresikan dalam bentuk simbol. Simbol merepresentasikan kebudayaan, baik testruktur maupun maupun tidak. Namun demikian, simbol bukanlah realitas dari kebudayaan itu. dalam simbol, titik rentannya terletak pada terjadinya peluang generalisasi berlebihan. Yakni, ketika simbol direduksi menjadi realitas sehingga mengabaikan esensi. Secara politik, simbolisasi atau labelling dipergunakan untuk mengunggulkan, meminggirkan, sekaligus membunuh kebudayaan.
Poin penting dalam konsep kebudayaan adalah bagaimana menjelaskan bahwa kebudayaan bisa memicu konflik. Kata kuncinya terletak pada sikap arogan dan perasaan lebih unggul dari yang lain. Dalam konteks kebudayaan, arogansi budaya yang mewujud pada sikap individu maupun kelompok sesungguhnya menjadi persoalan. Pendukung kebudayaan tertentu kerap mengabaikan eksistensi kebudayaan lain. Padahal, konflik dapat dihindari manakala masing-masing pihak bisa merelatifkan entitas kebudayaannya.

v  Bilik-bilik Suci: Sejarah mencatat bahwa segala bentuk konflik yang terjadi selama berabad-abad lalu memiliki akar agama. Semua bentuk konflik itu tidak dapat dipisahkan dari tempat suci. Keberadaan tempat ibadah menjadi pendukung tindak kekerasan. Tempat-tempat itu pada posisi terpisah secara eksklusif. Tempat-tempat suci telah dikendalikan oleh satu atau sejumlah orang yang masing-masing mempunyai cara pandang berbeda-beda.
 Gambaran berbagai sifat yang melekat pada perilaku pemeluk agama telah megikibatkan kesucian  tempat menjadi tercemar.  Sejarah mencatat bahwa konflik-konflik pada masa lalu. Semua bentuk ini tidak dapat dipisahkan dari keberadaan tempat-tempat itu. Masing-masing tempat menjadi pendukung tindak kekerasan. Di samping itu, keberadaannya juga tidak jarang memicu konflik sosial.
Mengapa bilik-bilik suci menjadi tempat bersemainya konflik? Hal ini tidak bisa dilepaskan dari cara pandang para pemeluk agama. Perbedaan di kalangan elite agama mengkristal demikian hebat di kalangan pengikutnya. Berbagai macam isi khutbah yang diserukan di tempat suci itu sering kali menjadi bias. Nuansanya justru cenderung mengondisikan orang untuk menegaskan diri memusuhi orang lain. Jemaah dibawa kepada sikap dan kesadaran keliru dalam membela agamanya.

v  Dakwah Agama: Metode dakwah konvensional terus mendapat kritik dalam beberapa tahun terakhir. Terutama menyangkut materi yang kemudian memicu kerusuhan di berbagai tempat. Kritik utama ditujukan kepada para juru dakwah yang terjun ke dalam politik praktis. Kemudian instutusi agama yang menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Berikutnya pola dakwah yang berorientasi pada penambahan jumlah pengikut untuk kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Tidak kalah pentingnya adalah bentuk dakwah yang tidak memberdayakan umat. Ada lagi kritik mendasar tentang disfungsi lembaga pendidikan bagi usaha pembebasan manusia beragama dari sikap fatalistis.
Pada umumnya, dakwah berupaya mengondisikan orang-orang untuk mengagumi sifat-sifat para pahlawan. Sikap heroisme ditanamkan secara mutlak dan kecerdasan akal cenderung dinafikan. Kesan tersebut terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Inilah yang kemudian mengkristal menjadi permusuhan yang berlaku di setiap generasi. Cara pandang juru dakwah sangat lambat menyikapi perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Dengan demikian, diperlukan semacam reorientasi dakwah sebagai media resolusi konflik sosial. Dakwah sejatinya menjalankan fungsi normatif, yakni mengajak umat memperbaiki kehidupannya dengan cara memperbaiki hubungan antarsesama manusia, Tuhan, dan lingkungan. Dakwah sejatinya mendorong pada upaya memperbaiki kondisi perekonomian dan mendorong terciptanya keadilan bagi semua pemeluk agama. Arah dakwan demikianlah yang seharusnya menjadi orientasi juru dakwah.

v  Ketersinggungan Agama: Ketersinggungan agama erat kaitannya dengan peran juru dakwah sebagai penyampai pesan “kebenaran”. Ketegangan muncul akibat penafsiran yang dilakukan elite agama atau juru dakwah yang mengkristal menjadi kebencian di kalangan pengikut. Dari sini muncul stigmatisasi dan stereotifikasi dari satu kelompok dalam melihat kelompok lainnya. Dalam banyak kasus, dakwah kerap menjadi pemupuk fanatisme dan penyubur watak garang pemeluk agama. Bentuk-bentuk dakwah itulah yang kemudian menjadi pemicu konflik antarsesama pemeluk agama maupun interrelasi antara satu agama dengan agama lainnya.
Pesan-pesan halus dan lembut dari agama langit diam-diam diubah menjadi suara komandan yang galak. Agama mengalami disfungsi menjadi instrumen yang mengabdi pada kekerasan. Pemeluk agama mengalami kelumpuhan daya kritis dan menjadikannya sebagai kekuatan baru yang berbahaya. Etika keberagamaan seolah mati seiring dominasi kepentingan politik yang mengeras. Kondisi ini diperburuk dengan mencuatnya primordialisme agama yang meluas ke arah primordialisme kedaerahan, kesukuan, dan lain-lain.

v  Ketersinggungan Etnik: Di negara dengan keberagaman etnik luar, Indonesia menjadi sangat rawan konflik akibat gesekan antaretnik. Identitas yang melekat pada individu baik karena bawaan keturunan maupun pengaruh kultural kerap menjadi hal yang dipersoalkan dalam relasi sosial. Dua hal itu menjadi variabel dalam menentukan watak, sikap, dan perilaku individu. Dalam kehidupan sehari-hari muncul kecenderungan individu menandai sikap masing-masing yang kemudian memicu persoalan rumit dalam relasi sosial.
Gesekan antara etnik Tionghoa dengan etnik Jawa atau Sunda merupakan potret umum yang hidup dalam masyarakat. Hal mendasar yang menjadi pemicu ketersinggungan tersebut terletak pada persoalan harga diri, ekonomi, dan agama. Ketiganya rentan menjadi pemicu konflik manakala ketersinggungan mengkristal secara ekstrem. Fenomena serupa juga muncul dalam konflik antar-etnik lokal Indonesia. Sejumlah kerusuhan di tanah air bermula dari adanya ketersinggungan satu etnik dari etnik lainnya. Sebut saja misalnya kasus Dayak versus Madura, Islam versus Kristen di Ambon, dan lain-lain.
Untuk itu, perlu adanya dialog antar-etnik secara terus-menerus untuk membangun kesadaran masyarakat bawah ihwal arti penting keberagaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini bertujuan menghindari berbagai macam kesan dan sikap distortif dari kalangan pemeluk agama. Pembicaraan di kalangan akar rumput kembali disuarakan melalui media massa untuk memberikan resonansi bagi khalayak. Cara ini diharapkan mampu menjernihkan problem akut dalam kehidupan bermasyarakat. Bahasa pergaulan sedapat mungkin menghindari kesan menyudutkan kelompok lain. Pertemuan-pertemuan inklusif pun perlu dikembangkan lebih jauh.

v  Kesenjangan Ekonomi dan Relasi Kultural
Terdapat persoalan patologis dalam hubungan sosial masyarakat kita. Persoalan tidak hanya muncul karena kekayaan dan kemiskinan yang menjadi simpul ekonomi yang memisahkan masyarakat secara objektif, tetapi lebih karena kekayaan maupun kemiskinan memang diciptakan untuk mengukuhkan jarak antarmereka. Kondisi ini bisa dianalisis dengan menggunakan teori konflik ala Marx yang menitikberatkan pada benturan antarkelas.
Disparitas mencolok dalam distribusi kekayaan pada akhirnya memicu ketidakseimbangan masyarakat. Jarak antara miskin dan kaya sulit direduksi akibat dari kecenderungan yang sulit memihak kepada upaya tersebut. Terlebih ketika simbol-simbol kekayaan acapkali juga menyinggung perasaan orang miskin. Sudah barang tentu langkah demonstratif dalam menunjukkan kekayaan semakin menghambat relasi sosial antara mereka yang kaya dengan kaum miskin.
Di bagian lain, konflik juga turut dipicu relasi kultural yang tidak seimbang. Konsep patron and client relationship yang berwujud dalam aneka bentuk semakin mengokohkan adanya pembeda antara kalangan priyayi dengan rakyat jelata. Dalam masyarakat Jawa, dikotomi keduanya menjadi sangat jelas dalam hubungan bendoro dan buruh. Buruh diasosiasikan sebagai wong cilik yang bertugas mengabdi kepada orang kaya. Relasi keduanya ditandai dengan pengabdian, kesetiaan, dan kepatuhan tiada tara.

5.      Konflik tawuran antar pelajar




Konflik ini terjadi karena :
1.      Dendam karena kekalahan dengan sekolah lain
Biasanya ini terjadi ketika adanya per tandingan bola antar sekolah. Dimana tim sekolah yang satu kalah dengan sekolah yang lain. Hal ini menyebabkan adanya r asa kecewa dan celakanya mereka ini biasanya melampiaskan rasa kekecewaan nya dengan mengajak berkelahi tim sekolah lain tersebut. Hal ini tentunya merupakan bentuk ketidak spor tifan pelajar dalam mengalami kekalahan.
2.      Dendam akibat pemalakan dan perampasan
Apabila seorang siswa dari suatu sekolah menengah atas dipalak atau dirampas uang dan hartanya, dia akan melapor kepada pentolan di sekolahnya. Kemudian pentolan itu akan mengumpulkan siswa untuk menghampiri siswa dari sekolah musuh ditempat dimana biasanya mer eka menunggu bis atau kendar aan pulang. Apabila jumlah siswa dari sekolah musuh hanya sedikit, mereka akan balik memalak atau merampas siswa sekolah musuh tersebut. Tetapi jika jumlah siswa sekolah musuh tersebut seimbang atau lebih banyak, mereka akan melakukan kontak fisik.
3.       Dendam akibat rasa iri akibat tidak dapat menjadi siswa di SMA yang diinginkan.
Ketika seorang siswa mendaftar masuk ke SMA negeri, tetapi ia malah tidak   diterima di sekolah tersebut. Dia akan masuk ke SMA lain bahkan ia bisa bersekolah di SMA swasta yang kualitasnya lebih rendah. Disebabkan oleh dendam pada sekolah yang dulu tidak menerimanya sebagai siswa, dia berusaha untuk membuat siswa yang bersekolah di sekolah tersebut merasa tidak nyaman. Dia akan memprofokasikan dan mencari-cari kesalahan sekolah tersebut agar akhirnya terjadi kontak fisik.
6.      KONFLIK KERJA



Konflik menurut Lewis A Coser adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan melainkan juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan mereka.
Ada konflik yang berlanjut menjadi hal-hal yang merugikan seperti konflik pengupahan yang berlanjut dengan pemogokan, konflik masalah keselamatan kerja yang berlanjut dengan demo. Ini harus dicegah dan dihilangkan. Tetapi ada juga konflik yang berdampak positif baik bagi organisasi maupun bagi individu, seperti persaingan yang berdampak meningkatkan kualitas pekerjaan. Hal seperti ini harus dipelihara dan dikembangkan.

v Jenis Konflik
a Konflik dalam individu

  Konflik ini timbul apabila individu yang bersangkutan merasabimbang terhadap p ekerjaannya, contoh: Seorang karyawan wanita akan merasa bimbang apabila anaknya yang baru berumur 5 bulan sakit. Sebagai karyawan, ia harus masuk kerja sedangkan sebagai seorang ibu, ia berkeinginan untuk merawat bayinya.
 b Konflik antara individu

Konflik jenis ini timbul karena adanya perbedaan kepribadian, kebudayaan, kepentingan dll. Contoh: si A merasa sudah cukup puas dengan hasil pekerjaannya, sehingga ia hanya duduk-duduk saja, sedangkan si B merasa belum puas sehingga ia masih berusaha menyempurnakan pekerjaan tersebut. Dalam hal ini terlihat adanya konflik antara si A dan si B terhadap satu pekerjaan yang sama.




c Konflik antara individu dan kelompok

Contoh: kelompok mahasiswa telah bersepakat untuk mengumpulkan tugasnya pada hari X. Ternyata ada salah seorang anggota kelompok tersebut pada hari X belum menyelesaikan tugasnya, sehingga ia dikecam oleh teman sekelompoknya karena tidak kompak. Sehingga timbullah konflik antara individu dengan kelompok.
d Konflik antar kelompok

Konflik ini terjadi bila dalam suatu organisasi terdapat kelompok-kelompok kerja. Contoh dalam suatu Perguruan Tinggi, misalnya kelompok dosen dengan kelompok karyawan administrasi terjadi konflik maka yang akan dirugikan biasanya mahasiswa.
e Konflik antar organisasi

Konflik antara organisasi biasanya timbul dalam kompetisi ekonomi.
Contoh: dalam mengembangkan produk dimana harga menjadi murah, pelayanan terhadap konsumen berbeda dll.
Ada beberapa pendapat atau pandangan tentang konflik yang timbul dalam perusahaan, yaitu:
1.      Pandangan tradisional
2.      Pandangan perilaku
3.      Pandangan interaksi
v  Sebab-Sebab Timbulnya Konflik
Berbagai sumberdaya yang langka: Seperti kita ketahui, bahwa sumber daya yang dimiliki oleh suatu organisasi terbatas jumlahnya, dan masih harus dibagi-bagikan kepada unit-unit dalam organisasi yang bersangkutan. Hal ini berakibat adanya kelompok-kelompok kerja atau unit-unit yang memperoleh bagian kurang dari apa yang dibutuhkan, sehingga sering timbulnya persaingan antara kelompok-kelompok dan akhirnya dapat menimbulkan konflik kerja. Contoh keterbatasan dalam hal SDM, fasilitas kerja dan lain sebagainya dapat menimbulkan konflik.
Perbedaan dalam tujuan: Perbedaan dalam tujuan antara unit dapat menimbulkan konflik kerja. Misalnya: Unit penjualan menghendaki harga rendah agar dapat menarik pelanggan lebih banyak, sedangkan unit produksi justru menginginkan sebaliknya, yaitu harga tinggi untuk menutup biaya produksi. Contoh lain: Bagian pembelian menginginkan pembelian barang-barang dalam jumlah yang besar untuk menekan harga satuan. Sedang bagian keuangan menolak karena terlalu banyak modal yang tertanam pada barang-barang (bahan baku). Dengan adanya perbedaan dalam tujuan atau pandangan tersebut sering terjadi konflik sehingga dapat juga menimbulkan kesulitan untuk menyetujui program operasional organisasi yang bersangkutan.
Saling ketergantungan dalam mengerjakan pekerjaan: Ketergantungan kerja terjadi apabila ada dua atau lebih unit yang dalam menyelesaikan tugasnya masing-masing bergantung satu sama lain. Dalam keadaan ketergantungan tersebut dapat mengakibatkan konflik, terlebih-lebih apabila mesing-masing pihak mendapat bagian kerja yang sama tetapi penghargaannya berbeda dapat dengan mudah timbul konflik. Juga apabila suatu unit tidak dapat memulai pekerjaannya sebelum unit lain menyelesaikan tugasnya, maka akan memperbesar kemungkinan timbulnya konflik. Misalnya, bagian produksi mungkin memprotes kegiatan bagian perbaikan dan pemeliharaan yang bekerja lambat sehingga mengakibatkan kuota produksi tidak tercapai.
Perbedaan dalam penilaian: Adanya perbedaan dalam tujuan diantara para anggota pelbagai unit sering disertai perbedaan sikap, penilaian serta pandangan, sehingga dapat menimbulkan konflik. Misalnya: para anggota Bagian Mesin berdasarkan penilaian dan pandangannya kemudian memutuskan tentang keadaan mutu barang-barang yang diproduksi, desain yang mutahir, sifat tahan lama produk, tetapi para anggota Bagian Produksi memberi penilaian yang berbeda yaitu: desain sederhana dengan biaya produksi rendah. Penilaian yang bertentangan antara kedua bagian itu dapat menimbulkan konflik.
Sebab-sebab lainnya: Sebab-sebab lainnya yang mungkin dapat menimbulkan konflik adalah gaya seseorang dalam bekerja, ketidakjelasan organisasi dan juga masalah-masalah komunikasi. Konflik yang condong bersifat individual dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya karena perbedaan pendapat, salah paham, perasaan yang terlalu sensitif, salah satu pihak merasa dirugikan kepentingannya, perbedaan dalam kebudayaan dan lain sebagainya. Dari pandangan-pandangan terhadap konflik, sepintas dapat diketahui bahwa konflik dapat bersifat positif dan negatif. Maka dari itu bagi pimpinan organisasi perlu mengetahui adanya konflik seawal mungkin, sehingga dapat cepat bertindak, mencegah, mengelola atau menghilangkannya. Akan tetapi untuk mengetahui konflik seawal mungkin tidakkan mudah, karena tidak semua konflik diketahui gejala-gejalanya, maka dari itu pimpinan harus aktif. Menurut Alex Nitisemito dalam Managemen Personalia, ada beberapa cara yang dapat membantu pimpinan mengetahui konflik seawal mungkin, diantaranya:
a.       Mengadakan komunikasi timbal baik;
b.      Menggunakan jasa pihak ketiga;
c.       Menggunakan jasa pihak pengawas informal.
Mengadakan komunikasi timbal balik: Komunikasi timbal balik terutama dari bawah keatas, hal ini diharapkan agar para bawahan mempunyai keberanian dalam mengemukakan segala sesuatu kepada atasannya. Dari informasi-informasi para bawahan kemungkinan ada hal-hal yang menjadi petunjuk adanya konflik. Dengan demikian pihak pimpinan dapat segera melakukan tindakan-tindakan tertentu sesuai dengan tingkat ataupun besarnya konflik.
Menggunakan jasa pihak ketiga: Pihak ketiga yang tidak berpihak kepada salah satu pihak yang sedang konflik, pada umumnya dapat lebih mempermudah mengetahui terjadinya konflik. Sebagai contoh: adanya jasa dari konsultan.
Menggunakan jasa pihak pengawas informal: Penempatan orang-orang untuk menjadi pengawas informal sangat membantu pimpinan mengetahui adanya konflik seawal mungkin. Pengawas informal tersebut bertugas selaku intel, harus melaporkan segala sesuatu yang dilihatnya hanya kepada atasannya saja. Tugas selaku intel tersebut harus dirahasiakan agar usaha para pengawas informal berhasil dengan baik, dan mereka harus bertindak dan bersikap wajar agar teman-teman mereka tidak mengetahui. Namun untuk pihak pimpinan perlu juga berhati-hati, karena ada kemungkinan bahwa apa yang dilaporkan pengawas informal tidak sesuai dengan kenyataan. Pengawas informal hanya melaporkan hal-hal yang menyenangkan saja, sedangkan hal-hal yang negatif justru tidak dilaporkan atau kemungkinan lain mendramatisir laporan agar pengawas informal mendapat pujian.
Ada juga pendapat lain yang menyebutkan cara-cara yang dapat dipakai untuk "menemukan" konflik atau sumbernya adalah sebagai berikut.
1.      Membuat prosedur penyelesaian konflik;
2.      Observasi langsung;
3.      Kotak saran;
4.      Politik pintu terbuka;
5.      Mengangkat konsultan personalia;
6.      Mengangkat ombudsman.

7.        KONFLIK DALAM HUBUNGAN ANTAR PRIBADI



 

A.      KONFLIK DALAM HUBUNGAN ANTAR PRIBADI
       Robbins (1996) dalam “Organization Behavior” menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Sedang menurut Luthans (1981) konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentengan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan.
       Perbedaan pendapat tidak selalu berarti perbedaan keinginan. Oleh karena konflik bersumber pada keinginan, maka perbedaan pendapat tidak selalu berarti konflik. Persaingan sangat erat hubungannya denga konflik karena dalam persaingan beberapa pihak menginginkan hal yang sama tetapi hanya satu yang mungkin mendapatkannya. Persaingan tidak sama dengan konflik namun mudah menjurus kearah konflik, terutama bila ada persaingan yang menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan aturan yang disepakati. Permusuhan bukanlah konflik karena orang yang terlibat konflik bisa saja tidak memiliki rasa permusuhan. Sebaliknya orang yang saling bermusuhan bisa saja tidak berada dalam keadaan konflik. Konflik sendiri tidak selalu harus dihindari karena tidak selalu negatif akibatnya. Berbagai konflik yang ringan dan dapat dikendalikan (dikenal dan ditanggulangi) dapat berakibat positif bagi mereka yang terlibat maupun bagi kelompok.
       Orang sering menganggap konflik bersumber dari tindakan dan inti persoalan , namun sebenarnya konflik sering disebabkan oleh komunikasi yang buruk.Komunikasi dapat menjadi masalah besar.Banyak persoalan dapat diselesaikan jika komunikasi berjalan lancar. Komunikasi yang buruk memperparah persoalan karena setiap orang yang terlibat dalam konflik secara tidak sadar mereka – reka motivasi buruk pihak lain.Perbedaan antara pesan yang disampaikan dan pesan yang diterima akan menimbulkan masalah komunikasi ketika konflik berlangsung. Setiap hubungan antar pribadi mengandung unsur-unsur konflik, pertentangan pendapat atau perbedaan kepentingan. Yang dimaksud konflik adalah situasi dimana tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat atau mengganggu tindakan pihak lain ( Johnson,1981 ).
Kendati unsur konflik selalu terdapat dalam setiap bentuk hubungan antar pribadi, pada umumnya individu memandang konflik sebagai keadaan yang buruk dan harus dihindarkan. Konflik dipandang sebagai faktor yang akan merusak hubungan, maka harus dicegah. Namun, kini banyak orang mulai sadar bahwa rusaknya suatu hubungan lebih disebabkan oleh kegagalan memecahkan konflik secara konstruktif, adil dan memuaskan kedua belah pihak bukan oleh munculnya konflik itu sendiri. Pengelolaan konflik secara konstruktif,konflik dapat memberikan manfaat positif bagi diri kita sendiri maupun bagi hubungan kita dengan orang lain. Beberapa contoh manfaat dari konflik adalah sebagai berikut ( Johnson, 1981 ) :
§  Konflik dapat membuat kita sadar bahwa ada masalah yang perlu diselesaikan dalam hubungan kita dengan orang lain.
§  Konflik dapat memunculkan kesadaran dan memotivasi kita untuk melakukan berbagai perubahan dalam diri kita.
§  Konflik dapat memotivasi kita untuk segera memecahkan msalah yang selama ini tidak kita sadari dengan jelas.
§  Konflik juga bisa membuat kehidupan menjadi lebih menarik.
§  Munculnya konflik dalam ragam pendapat bisa membantu kita kearah pencapaian keputusan bersama yang lebih matang dan qualified.
§  Konflik juga dapat menghilangkan ketegangan-ketegangan kecil yang sering terjadi dan muncul dalam hubungan kita dengan orang lain.
§  Konflik juga dapat membuat diri kita sadar tentang dan bagaimana kita sebenarnya.
§  Konflik bahkan dapat menjadi sumber hiburan.
§  Konflik dapat mengakrabkan dan memperluas hubungan

8.      KONFLIK DENGAN ANAK SENDIRI




Jika Anda berada dalam situasi satu rumah dengan keluarga lainnya / serumah banyak keluarga, Anda mungkin mendapati anak-anak Anda masuk dalam konflik. Sadarilah bahwa anak-anak Anda akan melalui banyak perubahan dan penyesuaian belajar untuk menerima orang baru sebagai keluarga. Mereka juga mungkin berhadapan dengan beban emosional dari perceraian atau kematian orang tua. Memiliki harapan yang realistis tentang bagaimana keluarga Anda akan hidup dengan keluarga lain dalam satu rumah. Ini akan memberi waktu bagi anak-anak untuk menerima satu sama lain. Model resolusi konflik merupakan hal yang baik dan timbulkan kesadaran bahwa perlu waktu untuk membangun kepercayaan dan kasih sayang yang dibutuhkan untuk hubungan yang kuat diantara keluarga tersebut, ini untuk meminimalkan konflik yang mungkin bisa saja terjadi antara anda keluarga se-rumah dan anak Anda. 

9.      CONTOH KONFLIK SUAMI ISTRI
sepasang suami dan istri cekcok hanya karena kopi si suami kurang gula, sehingga ia marah besar dan istrinya pun tersinggung. (Masak sih, hanya perkara gula yang kurang bisa menjadi sebuah konflik? Aneh kan?) Bila itu persoalannya, seharusnya cukup menambahkan gula ke dalam kopi suaminya, selesai persoalan! Namun, malah berbuntut panjang dan mengarah kepada percekcokan, bahkan (maaf) sampai kejar-kejaran di dalam rumah hingga tiba pada persoalan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang tentu saja dapat dikenai sanksi, karena undang-undangnya sudah ada di negeri ini. Kalau sudah begini, urusannya lebih repot lagi kan? Suami dan istri akan berurusan dengan penegak hukum dengan segala tetek-bengeknya yang tentu tidak mudah dan murah. Buntutnya semakin panjang, hanya karena sesendok gula? Ini masih satu contoh.
Tentu, banyak hal sepele lainnya terjadi di dalam rumah tangga maupun di sekitar lingkungan kita tinggal. Saya pernah mencoba mendamaikan sepasang suami dan istri, hanya karena sebuah jarum. Kedengarannya pasti lebih sepele lagi dibandingkan sesendok gula, seperti pada ilustrasi di atas. Sepele memang, tapi buntut dari itu si suami nyaris saja melakukan KDRT terhadap istrinya. Cerita singkatnya begini, ia meminta tolong istrinya agar diambilkan jarum atau sejenisnya, karena kakinya tertusuk duri. Si istri sedang memasak dan tidak mendengar permintaan suaminya dengan baik. Keributan pun tak terelakkan. Saat itu saya kebetulan lewat di depan rumahnya dengan berjalan kaki. Mendengar suara gaduh saya mencoba singgah. Saya kenal pasangan ini sebagai tetangga. Saat mencoba melerai itulah saya tahu duduk persoalannya. Intinya, tak satupun mau mengalah. Keduanya saling mempersalahkan. Si suami menyalahkan istrinya, karena tidak segera mengambilkan jarum, sedangkan si istri menyalahkan suaminya, karena ia sedang menggoreng ikan dan kurang mendengar dengan jelas suaminya berteriak minta diambilkan jarum. Sekali lagi, saling menyalahkan. Inilah kunci utama mengapa konflik suami dan istri tidak pernah selesai dengan baik, bahkan semakin berkepanjangan dan awet. Meskipun reda, itu semata-mata lebih karena didiamkan, tapi tanpa sadar hal itu semakin terpendam dan bertumpuk. Ia tinggal menunggu waktu untuk meledak.
Saya memang bukan seorang suami, yang bebas dari konflik bersama istri. Bahkan, saya bisa mengatakan, bahwa tiada hari berlalu tanpa sedikitnya sebuah konflik. Pemicunya beragam, meski kebanyakan hal-hal sepele. Bisa soal ketika saya berbicara hal A, istri saya malah berbicara hal B. Masing-masing ingin didengarkan. Bisa juga persoalan selera. Bahkan, hal paling konyol, kami juga pernah konflik karena pesan singkat saya tidak dibalas, padahal memang layanan jaringan saat itu sedang bermasalah. That’s stupid..!!!
Untungnya kami menyepakati satu hal bersama, bahwa konflik bukan sesuatu yang harus dihindari. Konflik itu juga bagian dari komunikasi, secara istimewa dalam hal sikap dan perilaku. Konflik tidak bisa dicegah. Ia bisa datang kapan dan dimana saja. Konflik itu harus diselesaikan. Ini dia. Titik. Penyelesaian konflik bisa menggunakan berbagai cara. Bisa secara berdua, bahkan melibatkan pihak ketiga sebagai pelerai. Sebelum lebih dalam berpikir soal upaya penyelesaian konflik itu, saya berpikir itu semua diawali dari satu hal mendasar, yakni saat konflik hadir di tengah-tengah pasangan, yakni suami dan istri harus sepakat dalam satu hal ini, bahwa dalam upaya penyelesaian konflik, pondasi utamanya bukan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Saya yakin, bila hal mendasar ini dipahami dan disepakati, suami dan istri akan mampu menyelesaikan konflik secara tuntas. Konflik tidak akan bertumpuk, apalagi berkepanjangan. Pencarian benar dan salah saat badai konflik melanda hubungan suami dan istri hanya akan memperkeruh suasana, bahkan maaf.. tidak menutup kemungkinan untuk melakukan hal-hal yang sering terdengar, yakni perceraian. Mari kita jadikan konflik sebagai sebuah jalan pendewasaan diri masing-masing. Tidak perlu terlarut dalam konflik tersebut, yang berbuntut pada sikap saling tuding. Sebaliknya, penyelesaian konflik tanpa melibatkan unsur siapa yang benar dan siapa yang salah akan dapat memberikan titik cerah dan evaluasi bagi keharmonisan hubungan yang sudah terbina.










DAFTAR PUSTAKA

http://www.tabloidbintang.com/gaya-hidup/psikologi/15964-konflik-dengan-orangtua-rentan-terjadi-apa-yang-harus-dilakukan.html